Minggu, 23 Desember 2012

Hipermutas Bau Bau

MEMBANGUN BATUATAS MANDIRI
REFLEKSI PEMIKIRAN KADER HIPERMAMUTAS

Oleh : La  Arcan

IDENTITAS DAN INDAHNYA BERFIKIR
    1.      Identitas
Saya lahir pada tahun 1989 di pulau kecil.Dimana pulau itu merupakan pulau saya dibesarkan yaitu pulau batuatas tepat desa Wacuala, sekarang Taduasa.Saya berasal dari keluarga yang memang pas pasan. Dari detik kemenit, dari menit ke jam, dari jam ke kehari, dari hari ke pecan, dari pecan ke bulan, dari bulan ke tahun, orang tuaku berinisiatif untuk menyekolhkan saya di bangku SMK, dan saya menyetujui permintaan orang tuaku yang begitu arif mau menyekolahkan saya. Karena walaupun juga bagaimana ini untuk kebaikan saya.Saya mencoba mendaftar di SMK N I Bau – Bau.Alhamdulillah saya lulus di Bidang Bisnis dan Manajemen Jurusan Akuntansi, semasih saya SMK dulu saya pengen sekali berbakti kepada kedua orang tuaku.Maka keputusan yang saya ambil untuk membahagiakan orangtuaku pada saat itu adalah saya sering ikut kajian, diskusi, membaca dan juga beribadah.Walaupun juga tidak rutin tapi satu dua kali saya aplikasikan. karena saya sadar hanya dengan cara itu saya bisa membahagiakan orangtuaku.
Setelah saya menyelesaikan pendidikan di Bangku sekolah menengah saya berinisiatif melanjutkan pendidikan saya di sebuah akademis dimana akademis itu merupakan sentral ilmu yaitu di UMK, dan Alhamdulillah saya lulus di FKIP jurusan Bahasa Inggris.Di Akademis inilah saya membuka diri dan mengintropeksi diri untuk bagaiman saya desain diri saya untuk menjadi manusia yang mengetahui potensi dirinya dan selalu mengisinya dengan ilmu yang bermanfat demi terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.Tentunya semua itu membutuhkan kerja keras kita untuk bagaimana mendahsyatkan diri kita.Maka solusi satu – satunya saya sebagai manusia haus dengan ilmu adalah saya berusaha memasuki semua lembaga.Karena saya sadar setiap organisasi itu mempunya filosofi tersendiri. Dan sekarang saya sudah join di berbagai lembaga, salah satunya lembaga yang membuka karangka berpikir saya adalah HMI MPO.


PENGANTAR EDITOR
HIPERMAMUTAS: Jalan Panjang Membangun Indonesia
Saya mencoba membicarakan posisi Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa (HIPERMAMUTAS) dalam sejarah perjalanan kehidupan yang kita lakoni di Dunia maya ini, nampaknya kita harus solid dan sepakat bahwa HIPERMAMUTAS telah memberi sebuah warna tersendiri dalam sejarah dan perjalanannya untuk meniti masyarakat yang Progresif dan Amanah demi terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT. Bukan hanya dalam gerakan kemasyarakatan dimana HIPERMAMUTAS memposisikan gerakannya, namun juga dalam ranah yang lebih luas, semacam gerakan intelektual, agama, politik, ekonomi dan masih ada berbagai ranah lainnya yang belum saya sebut yang dilakoni atau diemban oleh kader bahkan alumni HIPERMAMUTAS sejak dideklarasikannya pada 09 November 2008 di Batuatas.
HIPERMAMUTAS merupakan sebuah lembaga dimana oknum – oknum yang terlibat dalam HIPERMAMUTAS real dari masyarakat Taduasa, dan lembaga ini  merupakan sebuah lembaga dimana akan selalu memperhatikan hak – hak masyarakat Batuatas umumnya dan masyarakat taduasa khusunya. Karena lagi – lagi Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa merupakan bagian yang utuh dari masyarakat ilmiah untuk meneruskan momentum pembangunan dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa.Mengingat bahwa Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa merupakan tongkat stafet Pembanguanan untuk kesejahteraan masyarakat.Tugas suci yang diemban ini merupakan amanat rakyat supaya dapat terwujud, apabila di dukung oleh mahasiswa sebagai pemikir sebagai pemikir dengan pengaplikasian kepekaan sosial untuk mewujudkan aspirasi masyarakat taduasa.Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa sebagai penerus cita – cita bangsa pada hakekatnya merupakan jenjang proses pengembangan, peningkatan dan pemantapan diri yang peka terhadap tantangan kotemporer ini atau yang akan datang.
Fungsi dan peran Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa dalam pembanguanan nasional dapat diwujudkan dalam bentuk pengabdian tampa pamrih sesuai dengan keahlian dan profesinya.


 PEMUDA PEMIMPIN 
Kaum muda telah terbelenggu politik selama orba bukan hanya menjadi penjara politik yang membuat pemuda tidak bisa berbuat apa - apa, tetapi telah mengerdilkan peran pemuda. Eksistensi pemuda hanya sebagai pelengkap penderita bagi “Demokrasi Palsu” yang menjadi icon orde baru. Tumbangnya orde baru menjadi angin segar bagi gerakan demokrasi sesungguhnya, di mana politik telah menjadi pasar bebas bagi pencari kekuasaan. Meski belum sepenuhnya bebas dari intervensi khususnya dari pemimpin partai politik.Tidak heran jika geliat politik pemuda semakin ramai mewarnai wilayah politik saat arus gerakan demokrasi di era reformasi ini. Sebagian sudah terlibat penuh dalam “Pertarungan Politik”, baik legislatif maupun eksekutif. Pemuda sekarang ini tidak lagi menjadi penonton, tetapi pemuda kotemporer ini telah mengambil alih menjadi aktor berpengaruh, bahkan sebagian sudah terlibat menjadi tim sukses, konsultan politik, bahkan sebagian sudah berani tampil sebagai kandidat bupati maupun gubernur meski hanya sedikit yang berhasil.
Jaman sekarang sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan karena kita sudah merdeka melawan penjajah atau kaum kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat selama berabad- abad. Oleh karena itu pemuda harus tampil di berbagai tempat, mengisisi peluang-peluang strategis yang masih tersedia, selama kompetisi itu terbuka secara adil. Pemuda tentu sudah terbiasa dengan peran-operan strategisnya, sebagaimana yang ditampilkan saat ini dan di masa lalu, pemuda tidak henti-hentinya mengusung agenda perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Hanya saja ikhtiar pemuda belum begitu optimal, karena pemuda hanya diposisikan di luar arena kekuasaan, belum menjadi pemegang kekuasaan yang tentu lebih muda mengarahka kekuasaan itu dalam konsep ideal pemuda untuk egenda perubahan bangsa.
Pemuda selalu dinomorduakan dalam posisi kepemimpinan nasional maupun lokal. Padahal mereka (kalangan tua) mengakui betul kemampuan pemuda dalam agenda perubahan. Tetapi, dalam kekuasaan politik ada keengganan untuk menyerahkannya kepada pemuda. Kekuasaan dianggapnya sebagai implementasi budaya politik keluarga, di mana orang tua yang selalu berkuasa. Kalangan tua lebih yakin dengan berbagai pengalamannya dianggap lebih matang menjadi seorang pemimpin.
Statemeant “Pemuda adalah pemimpin bangsa masa depan”, adalah upaya sakralisasi posisi pemuda itu sendiri dengan berbagai keistimewaannya. Padahal, kalimat itu bisa menjadi belenggu kultural yang bisa menghalangi langkah pemuda untuk tampil bersaing dengan kalangan tua. Pemuda dilegitimasi untuk menjadi pemimpim berikutnya saat usianya sudah tidak lagi menjadi pemuda. Belum lagi tantangan dan keraguan pada kepemimpinan datang dari kalangan pemuda itu sendiri.
Di lain pihak, memang sangat tidak bijaksana kalau kita melakukan dikotomi antara kalangan tua dan muda dalam perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal oleh karena berbagai sebab:
1.      Setiap warga Negara mempunyai hak untuk menjadi pemimpin, tua dan muda tidak menjadi persoalan;
2.      Tidak bisa kita memvonis atau memastikan bahwa kalangan muda lebih baik, lebih berkualitas dan lebih mampu melakukan perubahan ketimbang dengan kalangan tua;
3.      Problematikabangsa saat ini, Bukan semata-mata problems kepemimpinan tua dan muda, apalagi soal moralitas pemuda atau tua karena susah untuk menyimpulkannya. Selain karena implementasi pembangunan politik, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan rakyat dan bangsa, juga karena masih terjadi kesalahan dalam mengelola Negara.
Kita belum bisa memastikan bahwa kepemimpinan pemuda bisa menjadi solusi yang terbaik untuk keluar dari berbagai masalah yang kompleks. Karena perbedaan umur tidak akan bisa menjadi jaminan kualitas dan kuatintas kemampuan seseorang dalam memimpin, belum bisa dijadikan indikator inovatifnya seorang pemimpin.
Maka dari semua itu, ada hal – hal yang mengharusan agar kita bisa lebih “legowo” melihat geliat pemuda dalam ranah politik, dengan berbagai warna-warninya. Idealisme pemuda dengan segenap harapan-harapan idealnya, tidak sabar melihat kondisi kebangsaan kita yang belum bisa menyesuaikan diri untuk bangkit dari krisis dan keterpurukan. Posisi tawar pemerintah dalam menghadapi Negara yang begitu maju semakin lemah, dengan  lemahnya sehingga tidak kuasa menolak apalagi melawan intervensi-nya. Pemerintah seakan – akan  terhipnotis atas berbagai tawaran Negara-negara maju, maka dengan model seperti itulah sehingga bangsa Indonesia menjadi seperti Negara boneka, dengan sedkit otoritas. Kita memang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang begitu besar tetapi kita sama sekali  tidak bisa mengolahnya sehingga bangsa lainlah yang ambil alih untuk menguasai sumber daya alam kita yaitu kaum kapitalis, kita telah dinina bobohkan oleh kaum – kaum kapitalis sehingga tidak bisa berbuat apa – apa karena kekurangan kita dalam memahami konsep kepemimpinan pemuda itu.
Sekarang ini korupsi masih terus eksis di berbagai tempat, sehingga menyebabkan kita tidak mampu keluar dari predikat Negara korupsi. Tingkat kepercayan pemuda sekarang ini termasuk masyarakat pada umumnya mulai menurun pada pemimpin.Walaupun juga bukan krisis kepemimpinan, tetapi ketika kita biarkan maka itu akan bisa menjadi “penyakit kronis” yang akan menurunkan partisipasi publik. Kemiskinan dan kebodohan akan semakin mengakar di tengah - tengah masyarakat, dan juga akan diperkuat dengan kondisi pengangguran yang menambah kompleks problem kebangsaan. Kondisi semacam itulah yang akan menyebabkan lahirnya kegelisaan pemuda dalam bentuk geliat politik dalam berbagai ranah kehidupan khususnya pada basis kekuasaan. Pemuda melihat adanya kegagalan yang real oleh kepemimpinan kaum tua yang mendominasi kekuasaan politik (presiden, gubernur dan bupati) dari era orde baru sampai reformasi sekarang ini. Pemuda ingin membuktikan diri, bahwa lebih mampu melakukan perubahan. Walaupun juga masih sebatas semangat dan mimpi indah, karena kenyataannya belum ada bukti kongkrit untuk itu.
Supaya pemuda tidakdikatakan bermodalkan semangat dan menawarkan mimpi indah, kita menginginkan ada sebuah desain dan strategi yang lebih matang dan akurat dalam memenage rumah besar yang kita cintai ini yaitu Indonesia. Karena memimpin negeri ini bukan tanpa hambatan, problem yang begitu kompleks, diperkuat dengan manuver sebagian pemuda yang jauh dari idealisme pemuda pada umumnya. Sebagian pemuda tidak lagi takut kehilangan idealismenya untuk kepentingan sesaat, di mana ruang politik menawarkan “surga” yang selama ini dicarinya. Termasuk pemuda yang selama ini dalam posisi dilematis, karena masih dihadapkan pada jeratan kemiskinan dan kebodohan yang jumlahnya tidak sedikit.
Pemuda harus bisa membuktikan kemampuannya, menampilkan semaksimal mungkin daya tawar yang boleh jadi tidak dimiliki oleh pemimpin kalangan tua. Salain itu, tawaran konsep untuk bangkit dari krisis menjadi fundamental. Selanjutnya, manuver pemuda masa kini sudah mulai menata jalan yang lebih baik, jalan baru yang bisa dilalui bersama. Menjalin hubungan baik dan networking yang lebih kuat, saling memberdayakan satu sama sama lain tanpa memandang profesi, etnis dan golongannya. Kalau bukan sekarang kapan lagi, karena kesempatan pertama itu merupakan kesempatan emas buat kita karena kesempatan pertama tidak datang keduakalinya tapi datang hanya sekali. Maka dari itu marilah kita bersama – sama menggunakan waktu kita yang begitu sempit ini sebelum kita terlambat karena dengan mengefesiensi waktu itulah, apapun yang kita lakoni akan terwujud dengan baik. Gunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. Ini merupakan nasehat yang sangat baik bagi kaum muda. Sosialisasi dan konsolidasii kepemimpinan kaum muda sudah harus digelorakan di tengah masyarakat. Sebagai alternatif atas lambannya agenda perubahan. Sambil membangun komunikasi sefektif mungkin di kalangan pemuda. Rasa solidaritas dan persatuan terbangun tentu tidak hanya lahir karena beban dan penderitaan yang sama dalam menghadapi kolonialisme, tetapi itu juga bisa lahir dari cita-cita dan harapan yang sama akan negeri yang betul-betul merdeka dari segala bentuk penindasan dan belenggu penderitaan.
Elit pemuda sekarang ini baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif harus memperlihatkan contoh yang terbaik. Memaksimalkan posisinya untuk kepentingan publik. Manuver politik yang dimainkan harus betul-betul diarahkan hanya semata untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Karena sedikit saja kesalahan elit pemuda, bukan hanya merusak perjuangan pemuda tetapi merusak citra pemuda. Apalagi manuver politiknya terlihat dengan jelas hanya untuk meraih kekuasaan semata, jangan harap bisa meraih simpatik dan dukungan dari kaum muda.

PEMUDA DAN AGENDA REFORMASI BANGSA 


Pemuda dan agenda reformasi bangsa ini merupakan sebuah perdebatan panjang ditengah – tengah pemuda karena reformasi bangsa ini merupakan sebuah representasi pemuda untuk melawan represi pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.Istilah generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural.
Setiap episode transisi politik, peranutamapemuda “elite” selalu terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar - mahasiswa, profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati politik yang tinggi.
Ditinjau dari konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.
Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.
Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan korektif. Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih sebagai “pengritik” negara. Pasca tumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru. Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur. Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik. Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka “merampas” kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif? 
Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik “banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses “akumulasi kapital”. Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor
 sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.












NASIONALISME KAUM MUDA MASA KINI

 

Setiap memasuki bulan Oktober, kita akan selalu diingatkan oleh sebuah peristwa bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa tersebut kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebagai bangsa beradab, tentu kita tidak ingin momentum bersejarah ini terlewatkan begitu saja. Seharusnya ada makna yang bisa diambil dari peristiwa besar ini. Salah satu makna paling menonjol dari peristiwa Sumpah Pemuda ini adalah menguatnya semangat nasionalisme di kalangan pemuda saat itu. Semangat nasionalisme telah mengilhami pemuda pada masa itu, hingga mereka mampu menjadi pilar penting dan berada pada garda terdepan dalam merintis perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia. Menarik untuk mempertanyakan bagaimana pula dengan semangat nasionalisme dan kepeloporan pemuda hari ini? Pertanyaan ini acap kali muncul di tengah keprihatinan berbagai kalangan yang mengkhawatirkan semakin lemahnya eksistensi dan posisi politik pemuda masa kini, terutama dalam mengemban misi kebangsaan.
Nasionalisme pemuda Nasionalisme merupakan suatu kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong kesadaran akan adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani bersama. Demikian pengertian yang diberikan oleh Ernest Renan yang sering disebut sebagai bapak nasionalisme.
Peristiwa kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian kita peringati sebagai Sumpah Pemuda adalah manifestasi tumbuhnya kesadaran nasional (nasionalisme) dalam perjuangan menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda waktu itu. Langkah ini menjadi semacam titik balik dari pola perlawanan sebelumnya yang lebih bersifat lokal. Tidak bisa dipungkiri bahwa tumbuhnya kesadaran tersebut secara nasional tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pemuda pada masa tersebut dengan idealisme dan paradigma barunya.
 Demikianlah seterusnya, sejarah panjang bangsa ini mencatat konstribusi yang diberikan kaum muda di setiap persimpangan sejarah. Hingga wajar jika banyak pengamat sejarah yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa sesungguhnya adalah sejarah kaum muda. Pemuda hadir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Sekadar menjadi catatan, perjuangan kaum muda di panggung sejarah juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia. 
Sejarah mereka adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Seperti ada benang merah bahwa gerakan pemuda biasanya lahir dari kondisi yang dihadapi masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita negara dan harapan masyarakatnya. Mereka merespons berbagai situasi dan kondisi tersebut atas dasar kesadaran moral, tanggung jawab intelektual, pengabdian sosial, dan kepedulian politik. Tidak jarang pula ditemukan bahwa situasi global sering menjadi faktor yang memicu dan mematangkan kekuatan aksi mereka. Semangat zaman Lantas muncul pertanyaan bagaimana dengan pemuda masa kini? Bagaimana kita menakar nasionalisme mereka saat ini? Bagaimana pula kita memaknai peran, posisi dan kontribusi politik generasi yang sekarang ini lebih dikenal sebagai generasi anak nongkrong itu dalam panggung sejarah perubahan?
Louis Gottschalk dalam bukunya yang berjudul Mengerti Sejarah, memperkenalkan istilah zeigest yang biasa diartikan sebagai semangat zaman. Setiap zaman, diidentifikasi memiliki karakteristiknya sendiri. Ada tiga unsur yang mempengaruhi karakteristik semangat zaman. Pertama, ia bisa didesain oleh manusia sebagai pelaku atau tokoh sejarah. Kedua, semangat zamanlah yang membentuk manusia.
Ketiga, semangat zaman lahir dari sturuktur politik dan kebijakan negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa yang menempatkan sosok kaum muda sebagai instrumen perubahan, peran politik kaum muda setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: mainstream isu yang berkembang, kepandaian menerjemahkan semangat zaman, dan ketepatan merumuskan strategi perjuangannya. Pemuda Indonesia dalam sejarahan cukup memainkan perannya dalam 'mendesain' setiap peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor utama dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa katakan bahwa pemuda telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan semangat zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang juga sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum muda seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi perubahan tersebut. Di situlah letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti isu-isu lingkungan hidup, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu.
Setiap perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang senantiasa menggelora khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta nurani yang senantiasa berkobar. Jadi bukan munculnya generasi anak nongkrong yang jadi persoalan. Namun, intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari generasi muda terus melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan besar telah terkikis, maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi dan terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban.
Zaman mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun mungkin saja berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak kehilangan sensitivitas dan kepeduliannya. Dua hal ini merupakan substansi dari nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat minimal guna menakar nasionalisme kaum muda di setiap zaman.















MORALITAS POLITIK PEMUDA

Saat diminta “Suara Muhammadiyah” untuk menulis masalah moralitas para elit politik saat ini, langsung terlintas dalam benak saya; “apalagi yang harus ditulis? apalagi yang mesti diterangkan? Itu semua sudah amat jelas diterangkan dan tertuliskan oleh berbagai surat kabar. Ah, barangkali lebih baik jika saya menulis tema lain yang lebih bermanfaat, itu pun karena waktu yang terbatas, dibantu seorang sahabat John Muhammad. Misalnya, seputar wacana kepemimpinan kaum muda yang kini kian sering diperbincangkan sebagai upaya mengubah keadaan politik yang stagnan karena macetnya regenerasi politik.
Barangkali tema ini akan lebih merefleksikan, memroyeksikan peran pemuda bagi masa depan tanah air sekaligus mematahkan anggapan ahistoris bahwa kaum muda be- lum matang dalam berpolitik.
 Atau bisa saja tema ini kita sambungkan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja kita peringati kemenangannya. Selanjutnya, kita juga bisa menyeberang ke bagian dunia lain untuk belajar, seperti di Iran sambil mengingat-ingat kembali penggalan sejarah penting seputar revolusi Iran dan bagaimana pemuda di sana memperbaiki tanah airnya. Semua tema seputar pemuda dalam tulisan ini melampaui sekadar muara pewacanaan kepemimpinan kaum muda dalam kerangka kekuasaan politik, melainkan hendak memberi sebuah jendela agar kita, para pemuda, melihat Indonesia jauh ke depan dalam bingkai revolusi moral atau kultural. 
Pemuda di Sekitar kemerdekaan
Jakarta, 15 Agustus 1945, sore hari di asrama BAPERPI, Jalan Cikini nomer 71, tampak sekumpulan pemuda berkumpul di sana. Menunggu dengan cemas dan penuh harap. Tak lama kemudian datang seorang pemuda, Wikana, si pembawa berita. Chaerul Saleh, salah seorang pemuda yang menunggu itu lekas menanyakan hasil dan dijawab dengan emosi oleh Wikana, “Bung Karno menolak, malah kami dimaki-maki. Kita semua dimaki-maki!”. Belum hilang dengungan suara Wikana, Djohar Noor yang juga sedari tadi menunggu segera melontarkan kata-kata, “Angkat saja”, sambil melonjak dari tempat duduknya. Yang lain juga ikut berdiri dan mengemukakan persetujuannya, “Segera bertindak!” dan keputusan pun ditetapkan: Soekarno dan Hatta harus diangkat (diculik) dari rumahnya masing-masing.
Demikianlah kemudian, Soekarno dan Hatta diculik dengan maksud diamankan ke Rengasdengklok, Jawa Barat pada tanggal 15-16 Agustus 1945. Peristiwa penculikan ini kemudian sering disebut-sebut orang sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Adapun maksud utama dari penculikan ini selain untuk mengamankan sekaligus memaksa Soekarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Seperti diceritakan pada awal tulisan ini maka mendekati proklamasi, suasana perbedaan pendapat tidak terelakkan lagi. Kelompok tua seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir menginginkan kepastian terlebih dahulu untuk memroklamirkan kemerdekaan Indonesia, seperti: validitas berita kekalahan Jepang dengan Sekutu, persiapan konsep kenegaraan yang belum matang dan faktor keamanan.
Namun, para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Djohar Noor, Wikana, Adam Malik dan lain-lain memiliki perhitungan lain. Mereka menganggap jikalau proklamasi tidak cepat-cepat dilakukan, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, (1) Jepang sebagai pihak yang kalah perang akan menyerahkan seluruh inventaris jajahannya (termasuk Indonesia) pada pihak sekutu dan (2) proklamasi tetap dilangsungkan didasarkan atas “pemberian” izin Jepang ataupun Sekutu, maka menimbulkan kesan hutang-budi atau campur tangan politik lainnya. Begitulah akhirnya Soekarno dan Hatta terpaksa mengikuti kemauan para pemuda-pemuda ini.
Di Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, sebuah proklamasi – sebagai suatu pernyataan kemerdekaan – sebenarnya sudah dilangsungkan. Saat itu, dengan gaya khas pemuda, Sukarni, dr. Soetjipto, Singgih dan kawan-kawannya mengadakan upacara bendera dan pernyataan kemerdekaan (disampaikan oleh H. Affan, seorang Perwira PETA). Sedangkan para hadirinnya cuma tukang sayur, tukang grabah, petani, tukang kain, mandor jalan, pegawai, juru tulis, juru telepon dan semacamnya. Kesederhanaan “proklamasi” ini semakin tampak, tatkala pidato H. Affan itu disambut riang gembira, joget-joget dan tidak sedikit yang mengharukan peristiwa ini. Selepas upacara, dengan polosnya, para pemuda ini menunggu kehadiran “pembesar-pembesar” yang akan menemui Soekarno-Hatta. Bayangan mereka, berita ini segera menyebar dan Soekarno-Hatta segera menerima kedatangan tamu kenegaraan. Dapat kita duga hasilnya, pembesar-pembesar itu tidak ada yang datang, yang hadir justru hanya Paduka Tuan Rengasdengklok-Guncho (Camat Rengasdengklok), itu pun setelah dipaksa-paksa dan Mr. Soebardjo yang sedang mencari-cari Bung Karno dan Bung Hatta. Selepas waktu ashar, tidak ada pilihan lagi untuk mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Jakarta, apalagi telah terjadi kesepakatan untuk memroklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus (esok harinya). Malam itu juga hingga pagi harinya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dipersiapkan. Kali ini persiapannya jauh lebih matang. Tokoh-tokoh tua diikutsertakan dan bekerja sama dengan anak-anak muda tadi. Rapat yang dilakukan di rumah Laksamana Maeda (sekarang Jalan Imam Bonjol no. 1, Taman Surapati) berlangsung seru. Perdebatan paling keras adalah mengenai siapa yang akan menandatangani proklamasi. Kelompok tua menginginkan naskah proklamasi itu ditandatangani oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memang sudah dibentuk Pemerintah Jepang) tetapi Soekarni dan kawan-kawan menginginkan agar ditandatangani pemuda saja. Bung Karno mencoba menengahi dengan memberi usul agar semua yang hadir saat itu ikut menandatangani semua, tetapi beberapa masih belum setuju. Atas usulan Chairul Saleh, akhirnya diputuskan bahwa naskah proklamasi cukup ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil dari Bangsa Indonesia.

Hikmah Revolusi Iran
Ayatullah Khomeini, dalam Hokumat-i-Islami me-ngatakan “Hanya satu Islam yang benar, yaitu: yang dibawa Nabi Muhammad saw. Beliau membawa Islam yang revolusioner. Karenanya, Islam yang benar adalah Islam yang revolusioner.” Ingat Revolusi Iran berarti ingat Imam Ayatullah Khomeini. Memang, Revolusi yang terjadi di Iran (1978-1979) itu tak lepas dari peranan manusia bernama lengkap Imam Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhollah al-Musavi al-Khomeini yang lahir di kota Khumayn, dekat Isfahan, sekitar 300 kilometer selatan Teheran, pada tanggal 24 September 1902. John L. Esposito menjuluki Ayatullah Khomeini sebagai “living symbol and architect of Islamic revolution of Iran”. Karena jasanya itu pulalah beliau diangkat menjadi Rahbar (Pemimpin) Revolusi Islam, sebagaimana yang tercantum dalam Konstitusi Iran yang disahkan pada Desember 1979. Khomeini memang pribadi yang kharismatik. Mantan Ketua PP Muhammadiyah DR. HM Amien Rais (pernah menjadi Ketua MPR RI) berkesempatan melihat rumah Ayatullah yang sederhana, sewaktu berkunjung ke Teheran, Oktober 1991. Luas Rumah itu tidak lebih dari 100 meter persegi. Di ruang tamu hanya terdapat sofa tua tempat Ayatullah menerima para tamu negara. Bahkan, semasa pembuangannya di Prancis beliau hanya tinggal di sebuah tenda di pinggiran kota Paris. Potret ini amat kontras dengan potret kehidupan elit-elit politik zaman sekarang di Indonesia.
Gus Dur – KH Abdurrahman Wahid – yang pernah menjadi Presiden Indonesia pada salah satu tulisannya pernah menulis bahwa Ayatullah Khomeini adalah tokoh kontroversial. Beliau dikagumi bak “malaikat” dan sekaligus dibenci bagaikan “setan”. Beliau memang wajar dibenci oleh Dunia Barat karena dialah, tokoh yang berhasil “mencampakkan” Amerika dari Iran. Kata William Shawcross, salah seorang wartawan senior Barat, “Sejak awal 1979, Ayatullah Khomeini selalu merepotkan Barat yang ia pandang sangat rendah. Bagi banyak warga Barat, ia tampak seperti musuh yang bengis dan bahkan sinting, simbol yang mengerikan dari angkara murka dan kebencian yang tidak terduga, tak bisa dimengerti, dan tak terkendali”.
Revolusi Iran pada tahun-tahun 1978 sampai 1979 memang tidak muncul begitu saja. Revolusi ini sesungguhnya sudah dimulai sejak 1950-an, oleh DR. Mohammad Mossadeq (pendiri Front Nasional), kemudian oleh Khomeini sendiri pada “Pemberontakan Juni” di tahun 1963. Pemberontakan tersebut mengakibatkan diusirnya Khomeini ke Turki dan kemudian ke Irak pada 1965. Namun, revolusi ini sesungguhnya “embrio” dari pecahnya Revolusi Islam di Iran pada 1979, seperti halnya Revolusi 1905 yang menjadi “embrio” Revolusi Bolshevik di Rusia.
Keunikan lain adalah kenyataan bahwa Revolusi Islam Iran berbeda dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang meletakkan titik berat pada tarbiyyah (pendidikan perorangan), maupun gerakan Jama’ati Islami di Pakistan yang meletakkan titik berat pada tantangan intelektual. Revolusi Iran juga berbeda dengan Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Rusia (1917). Revolusi Iran memiliki kekhasan. Revolusi ini didasarkan pada ideologi keagamaan dan keyakinan-keyakinan islamis serta tujuan-tujuan hidup Islamis dan Qur’anis, dan didorong oleh alim ulama (rohaniawan) yang terjun langsung dalam masalah politik, perebutan kekuasaan, mendirikan negara serta sistem kehidupan Islam (Mahzab Syiah).
Jalannya Revolusi Islam di Iran dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang pertama adalah krisis ekonomi, sosial dan budaya akibat kediktatoran monarki rezim yang dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi. Kedua adalah budaya homogen masyarakat Iran. Masyarakat Iran memiliki ideologi yang sama, yakni Islam dan mahzab Syiah memang mendominasi keseluruhan masyarakat di Iran. Mahzab Syiah berkembang di Iran sudah sangat lama. Menurut S. Hussain M. Jafri, Syiah, selain lahir karena faktor politis (dalam arti kekuasaan atau kepemimpinan) mengenai pemimpin umat Islam yang menggantikan Nabi Muhammad SAW, namun Syiah juga dibangun oleh faktor “kesukuan” dan alasan historis. Masyarakat Syiah di Iran mempercayai bahwa mereka adalah keturunan Sahabat Ali dan Nabi Muhammad SAW. Ketiga adalah faktor Ayatullah Khomeini sendiri.
Khomeini secara cerdas berhasil menyatukan dan meyakinkan persatuan antara penganut Mahzab Sunni dan Syiah di Iran. Khomeini pulalah yang berhasil merumuskan struktur kenegaraan “Republik Islam” secara politik dan hukum, hingga permasalahan sosial lainnya. Keempat, adalah – justeru – faktor peranan Barat serta kesalahan pemerintah Syah Iran. Mereka tidak pernah menyangka bahwa mengusir dan membiarkan Ayatullah tinggal di salah satu negara Eropa (Prancis), bukan saja membuat jaringan komunikasinya semakin meluas namun malah semakin mendapat simpati serta menambah banyak pengikutnya.
Yang menarik, selama revolusi berlangsung dan direncanakan, Khomeini tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Iran. Bahkan hingga Syah Iran berhasil ditumbangkan (diusir ke Aswan, Mesir pada 16 januari 1979), Khomeini belum juga kembali ke Iran. Persis ramalan Nostradamus, “Di Persi (Iran) akan ada seseorang dari kekuatan luar yang akan menggulingkan kekuasaan di dalam Persi’, begitulah seperti yang kami tonton pada salah satu acara televisi pada suatu kesempatan tentang ramalan-ramalan Nostradamus. Entah suatu kebetulan, namun jelas sekali yang dimaksud dengan “seseorang dari kekuatan luar” adalah Imam Khomeini.
Urgensi Perubahan Budaya
Jika anda mau menengok dan membaca kembali keadaan politik tanah air saat ini, kita akan merasa bahwa cita-cita mengenai Republik Indonesia masih sangat jauh dari harapan kita saat ini. Akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan awal, yaitu: pentingnya suatu perubahan dalam pola pikir dan budaya bangsa kita dengan sesegera mungkin. Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana melakukannya? Kali ini kami mengajak anda untuk menyimak berbagai model perubahan, berikut dengan langkah-langkah taktisnya. Yang kami tawarkan pada anda saat ini adalah revolusi dan perlawanan. Namun, sekali lagi, langkah-langkah tersebut bukanlah satu urutan atau order (perintah) untuk dilaksanakan, melainkan hanyalah referensi kita saja, kemudian andalah yang menentukan, mau dimodifikasi, dievaluasi atau langsung dipraktekkan, kesemuanya terserah anda. 
Revolusi dalam Reformasi memunculkan banyak pertanyaan. Kita tidak akan masuk dalam perdebatan benar atau salah dari strategi perubahan (reformasi) kita ini. Tapi kita justeru mengambil kesimpulan lain, yaitu bahwa ide revolusi atau perubahan secara cepat ternyata lebih fleksibel karena memang variabel penentu dari revolusi adalah waktu. Sehingga apapun prosesnya, transformasi atau reformasi kita ini, selama berjalan dalam waktu yang cepat dapat saja kita katakan revolusi.
Orang Inggris di abad tujuh belasan, pada saat mesin uap ditemukan dan industri maju pesat, tidak mengatakan perubahan itu sebagai revolusi, tetapi setelah mengetahui bahwa perubahan tersebut berjalan sangat cepat (menurut ukuran mereka) baru mereka sadar bahwa mereka telah melakukan revolusi. Begitu pula dengan protes-protes masyarakat Amerika Serikat dan Barat umumnya mengenai kebebasan seks (dalam tuntutan liberalisasinya), mereka menjalani perubahan dengan biasanya saja dan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu revolusi. Seperti mereka, kita tidak akan menyadari bahwa gerakan reformasi ini berjalan cepat atau lambat (apalagi hal ini masih perdebatan). Namun, tatkala (mungkin) nanti kita semua merasakan perubahan berjalan cepat maka serta merta orang akan mengatakan, “Wah, ini sih, revolusi damai”. Oleh karena itu, kita meletakkan kata “revolusi” pada perubahan pemikiran kita dengan harapan perubahan tersebut berjalan cepat dan yang terpenting memacu akselerasi gerakan reformasi. Pengertian gampangnya, gerakan “revolusi budaya” merupakan bagian dari gerakan reformasi secara keseluruhan atau di dalam reformasi ada revolusi budaya. Selain harapan mempercepat reformasi maka istilah “revolusi budaya” dalam konteks istilah revolusi lainnya, seperti “revolusi fisik”, “revolusi rakyat” atau “revolusi kemerdekaan” mungkin jauh lebih diinsyafi karena tidak mengandung makna destruktif (merusak), layaknya abad pencerahan (renaissans) di Eropa maka “revolusi budaya” lebih dekat pada makna saving (menyelamatkan).
Sebenarnya perubahan budaya berlangsung terus menerus dan secara korektif diperbaiki oleh manusia. Masih ingat cerita Qabil, anak Adam yang membunuh saudaranya sendiri? Cerita itu menggambarkan betapa bodohnya manusia sehingga untuk menguburkan mayat saja harus meniru binatang. Namun, proses perubahan budaya tersebut memiliki percepatan yang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Nah, perubahan budaya yang dicatat sejarah sebagai perubahan yang berlangsung secara revolusioner adalah:
Perubahan dan perkembangan budaya masyarakat di Jazirah Arab pada abad ke tujuh, bersamaan dengan masuknya agama Islam. Sebelum Islam masuk, dibanding bangsa lainnya, Arab adalah bangsa yang sangat terbelakang bahkan bukan secara intelektual saja, namun budaya membunuh, perbudakan dan lain-lain sangatlah lazim disana. Namun, hadirnya Islam dengan Muhammad SAW sebagai pimpinannya, mulai merubah tradisi bangsa tesebut. Thomas Carlyle, dalam tulisannya: The Hero as The Prophet, mengungkapkan bagaimana dalam tempo satu abad saja telah mengubah masyarakat di Timur belahan dunia yang bodoh-bodoh itu tumbuh dan melahirkan manusia-manusia super. Ibnu Khaldun (sosial), Ibnu Syna (kedokteran), Ibnu Rusyd (pemerintahan dan hukum), Ibnu Taimiyah (politik) atau Al Jabar (matematika) adalah sebagian kecil dari keberhasilan revolusi pemikiran di Arab.
Perubahan dan perkembangan budaya masyarakat di Eropa pada abad pertengahan, yang dikenal dengan masa renaissance atau pencerahan. Memang, perubahan ini tidak lepas dari perkembangan di jazirah Arab tadi. Melalui Perang Salib-lah terjadi transfer of knowledge (pertukaran ilmu pengetahuan) antara bangsa Timur dan Barat terjadi. Redupnya aktivitas berpikir bangsa Arab akibat pertikaian diantara mereka sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Eropa untuk mempelajari karya-karya bangsa Arab tersebut. Leonardo da Vinci, Michelangelo, Donatello dan kawan-kawannya merupakan manusia-manusia yang serba bisa dan mempelajari banyak hal dari mulai seni, teknik sampai sosial-politik. Macchiavelli adalah salah satu pelopor strategi dan taktik politik modern.
Revolusi Industri di Inggris yang ditandai dan diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Kemudian diikuti dengan berbagai penemuan teknologi mulai dari mobil, pesawat terbang hingga atom. Revolusi Industri sangat mempengaruhi kebudayaan dan pola pikir. Mesin yang menggantikan peranan manusia akhirnya melahirkan paham Materialisme yang dikembangkan oleh Hegel, Marx dan Engels. Pemikiran ini akhirnya berkembang menjadi dua cabang pemikiran, yaitu Kapitalisme dan Komunisme. Walaupun begitu dalam kedua perbedaan ini, muncul pemikiran lainnya di dunia pemerintahan, yaitu: demokrasi.
Demokratisasi di abad pertengahan dan akhir keduapuluh ini, termasuk di dalamnya revolusi anti-komunis di Eropa Timur (1989) dan gerakan bunga di Amerika Serikat (1969). Demokrasi berkembang pesat, tuntutan rakyat akan hak-hak pribadi dan kolektifnya semakin tidak dapat dibendung lagi. Amerika Serikat dan Eropa memulainya dengan Liberalisme (kebebasan) sedang yang lainnya dengan Otoriterianisme (pengekangan). Mulanya, otoriterianisme runtuh terlebih dahulu (Soviet, Polandia, Rumania dan negara Eropa Timur lainnya) dan memodifikasi diri dengan cara mengadopsi demokrasi disana-sini. Sampai saat ini Liberalisme masih menjadi wacana utama dalam penuntutan hak-hak manusia, namun belajar dari Amerika Serikat, ternyata semakin lama mereka pun muak dengan kebebasan murni yang mereka miliki selama ini. Mereka membebaskan berbagai hal seperti seks, senjata atau pasar bebas. Tetapi saat ini mereka sadar dan mulai mengontrol kebebasan itu seperti pornografi ditentang (banyaknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual), kepemilikan senjata mulai diatur (pembunuhan berantai oleh siswa-siswa dan UU Monopoli diperketat (kasus Microsoft, misalnya). Bahkan, untuk melawan rasisme, mereka juga melakukan terobosan, yaitu dengan memperkenalkan UU anti-diskriminatif, dimana menggilirkan posisi struktural dalam suatu lingkungan antara minoritas dan mayoritas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam suatu perusahaan yang struktur kepemimpinannya didominasi oleh orang kulit puitih maka dalam jangka waktu tertentu perusahaan tersebut harus memberikan kesempatan pada kelompok minoritasnya untuk menduduki posisi strukturalnya tersebut. Ada banyak contoh lain yang mungkin tak cukup untuk dilukiskan dalam tulisan singkat ini.
Uraian di atas mudah-mudahan menambah semangat kita sebagai pemuda, memperbaiki budaya yang meliputi seluruh aspek sosial. Belajar dari pengalaman yang bukan sekadar memberi inspirasi untuk mengubah zaman yang lebih adil dan damai, juga menegaskan bahwa cita-cita itu tak bisa otomatis terwujud hanya lewat revolusi politik, pergantian struktur kekuasaan politik. Melainkan juga mensyaratkan revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi, moda produksi, serta relasi sosial orang miskin dengan orang kaya, buruh dengan perusahaan, petani dengan pemilik modal dan seterusnya, bahkan lebih jauh dari itu diperlukan sebuah kesungguhan untuk mewujudkan sebuah revolusi kultural di mana setiap orang memiliki kesadaran politik dan rasa solidaritas sosial. Ke arah itulah cita-cita kaum muda menuju.


GRAMATIKA POLITIK PEMUDA


Telah menjadi hukum sejarah, bahwa setiap angkatan muda hidup dalam era dan zamannya masing-masing, termasuk angkatan muda di indonesia. ini tidak berarti bahwa ada penggalan-penggalan fase sejarah yang terpisah pada setiap generasi, melainkan bahwa setiap generasi mempunyai problem kesejarahannya masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan demi kontinuitas sejarah kemanusiaan. karena perbedaan problem zaman yang dihadapi oleh setiap generasi, mengakibatkan munculnya solusi problem yang juga berbeda-beda. solusi yang ditawarkan oleh setiap generasi atas zamannya masing-masing diejawantahkan dalam bangunan gramatika politik yang khas. begitupun dengan beberapa lapis generasi manusia indonesia sampai pada hari ini, telah melahirkan berbagai gramatika politiknya masing-masing. tentu kita mengenal periodisasi angkatan muda indonesia, beberapa generasi telah berhasil membangun gramatika politiknya sendiri, tapi tidak sedikit juga yang sesungguhnya hanya melanjutkan gramatika politik generasi sebelumnya, atau bahkan hanya melaksanakan gramatika politik yang diproduksi oleh kelompok lain. yang paling fenomenal dari beberapa periode angkatan muda indonesia adalah angkatan 28 dengan sumpah pemudanya dan angkatan 45 yang mengantarkan indonesia ke pintu kemerdekaan. sumpah pemuda sudah berusia 77 tahun, sebuah usia yang demikian panjang untuk sebuah gramatika politik yang dicetuskan oleh kaum muda. sumpah pemuda dapat dikatakan berhasil, karena semua gerakan aksi dan aktivitas dari generasi pemuda setelahnya, hanyalah merupakan kelanjutan atau reaktualisasi dari gramatika politik ini, meskipun dengan cara yang berbeda. kenyataan ini melanda baik angkatan ’45, angkatan ’66 maupun angkatan ’98. Gramatika politik baru memang tidak ada yang salah dalam gramatika politik angkatan ’28 ini, sebagai produk dari sebuah generasi, sumpah pemuda sangat berhasil menjalankan fungsi pada zamannya. namun kita harus realistis bahwa era dan zaman yang dihadapi oleh setiap generasi memiliki problem yang berbeda. sehingga sangat mendesak untuk kembali dilakukannya perumusan gramatika politik baru bagi kaum muda.
dalam realitas, kita dapat menyaksikan bagaimana gerakan kaum muda hari ini belum menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi perbaikan bangsa dan negara. ini diakibatkan karena kaum muda terjebak pada gramatika politik yang diproduksi oleh kaum tua yang sampai hari ini masih bercokol disemua level kehidupan politik kenegaraan kita, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Gramatika politik kaum tua menjebak gerakan kaum muda hanya berkutat pada persoalan-persoalan artifisial kebangsaan, seperti isu bbm, penyaluran dana kompensasi serta kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif. sudah saatnya pemuda kembali melakukan konsolidasi menyeluruh untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya yang signifikan dalam percaturan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. pilihan untuk merumuskan kembali gramatika politik kaum muda dilakukan setelah melihat bahwa efektifitas gerakan angkatan muda sebelumnya bisa berhasil karena ditopang oleh gramatika politiknya. gramatika politik bermain di wilayah bahasa, sementara itu, bahasa sebagai praktik material dibentuk sedemikian rupa oleh jalinan kondisi dan pengalaman sosial kompleks yang melingkupinya (ashcroft, dkk 1989). jadi gerakan muda akan mampu menjawab tantangan zamannya jika memiliki sebuah rumusan gramatika politik yang mumpuni. dengan gramatika politik baru, kaum muda hari ini bisa menunjukkan eksistensinya dan akan mampu mengambil alih wilayah sentrum bahasa dari kamu tua dengan gramatika politiknya sendiri dan mengisinya dengan bahasa baru yang sepenuhnya sudah disesuaikan dengan konteks era dan zaman serta problem yang dihadapi. dengan adanya gramatika politik yang baru, kaum muda akan mampu menjadi kekuatan untuk membangun wacana tanding atas hegemoni kaum tua.
Setidaknya, gramatika politik baru bekerja di tiga lapis wacana (discourse) yaitu, pertama, wilayah wacana (field of discourse) dimana titik tekan gramatika politik difokuskan untuk menggeser tema. tema wacana politik selama ini masih tetap dikendalikan oleh kaum muda dan menggiring gerakan muda untuk hanya ikut bermain dalam tema wacana politik yang telah mereka produksi. generasi muda hanya menjadi konsumen dan tidak mampu melepaskan diri karena warna patronase politik yang masih kental dalam realitas perpolitikan indonesia. gerakan kaum muda indonesia belum pernah menjangkau wilayah paradigmatik tapi hanya pada wilayah pragmatik. kedua, mode wacana (mode of discourse). dalam lapisan ini, gramatika politik baru kaum muda harus diterjemahkan pada tataran kata-kata. dalam lapisan inipun dominasi kaum tua masih sangat kuat, terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam dunia politik, belum ada yang baru, semua berkutat pada terminologi yang itu-itu saja. sebagai contoh, pada hari ini, mode wacana kaum muda dijebak untuk hanya mengucap isu korupsi, kolusi dan nepotisme.
ketiga, lapisan ini mempersoalkan tentang penyampai wacana (tenor of discourse), titik tekannya pada persoalan otoritas. maksudnya bahwa gramatika politik kaum muda harus bisa menjadi pencerminan otoritas kaum muda dalam membangun wilayah wacana (field of discourse) dan memproduksi mode wacana (mode of discourse). dalam realitasnya, gerakan kaum muda belum berhasil muncul sebagai otoritas politik yang mandiri.
sebenarnya kondisi ketidakmampuan generasi muda memproduksi gramatologi politik baru menunjukkan sebuah proses kolonisasi kesadaran oleh kaum tua terhadap gerakan kaum muda. setelah demikian lama, sudah selayaknya gerakan kaum muda tidak lagi ditunggangi oleh kekuatan tua. kaum muda harus muncul sebagai kekuatan pembaharu yang diharapkan mengantar bangsa ini pada tata hidup yang lebih beradab dengan gramatika politik baru.
inilah yang beberapa puluh tahun yang lalu menjadi harapan mulia dari muhammad hatta, lahirnya “generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoritis bagi aksi-aksi kolektif”. hatta menanti lahirnya angkatan muda seperti ini, apakah sekarang adalah saat yang tepat? jawabnya kembali pada kita semua para generasi muda.







PEMUDA DAN MASALAH KEBANGSAAN
Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, awal Juni lalu menyatakan bahwa mayoritas pemuda Indonesia hidup miskin dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Kini, pemuda Indonesia berada dalam lingkaran penyakit sosial akibat kurangnya pemberdayaan, pengembangan dan perlindungan. 
Berdasarkan proyeksi data single years Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, potensi pemuda Indonesia sangat besar jika dilihat dari jumlah pemuda (sebanyak 62.985.401 jiwa) atau 29,5 persen dari total penduduk Indonesia, yakni 213,287 juta jiwa. Data ini tentu sudah mengalami perubahan karena sensus penduduk 2010 mencatat total penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa. Namun demikian, realitasnya, potensi besar pemuda Indonesia tidak cukup berdaya oleh karena tidak adanya terobosan politik strategis pemerintah yang memungkinkan terbukanya proses pemberdayaan.
Kini, realitasnya, pengangguran di kalangan pemuda dalam kategori usia produktif (usia 16-30 tahun) yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak mempunyai pekerjaan, relatif sangat tinggi. Menurut BPS Indonesia tercatat tidak kurang dari 7,4 juta pemuda termasuk dalam kategori usia produktif yang mengganggur.
Dilihat dari sudut latar belakang pendidikannya, sekitar 27,09 persen di antara mereka berpendidikan SD ke bawah, 22,62 persen berpendidikan menengah pertama (SLTP), 25,29 persen berpendidikan menengah atas (SMA), dan 15,37 persen berpendidikan SMK. Dari sudut letak geografis, penyebaran pemuda sebanyak 5,24 juta orang (53 persen) berada di perkotaan dan 4,2 juta orang di pedesaan.
Inilah problematika kehidupan berbangsa dan bernegara yang teramat kita rasakan selama ini. Memang, kini telah ada UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang kepemudaan yang menjadi landasan untuk melakukan pembangunan kepemudaan. Namun, undang-undang ini belum berfungsi efektif dalam upaya memberdayakan mereka. Ironis, pemerintah terlihat kurang apresiatif untuk mendorong peran aktif kaum pemuda dalam proses-proses pembangunan di negeri ini. Padahal, sebagaimana kita ketahui, dalam sejarah negara-negara besar di dunia, tidak terkecuali negeri ini, pemuda memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Mereka berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan (moral porce and social change) dalam segala aspek pembangunan nasional.
Dalam sejarah kemerdekaan negeri ini, pemuda menjadi motor penggeraknya. Ikrar sejumlah pemuda pada 28 Oktober yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah kebangkitan bangsa. Ironisnya, era kebangkitan itu kini tampak dilihat sebelah mata. Potensi besar mereka kurang terakomudatif dalam berbagai dimensi pembangunan bangsa dan negara.
Faktanya, dewasa ini jumlah pengangguran kaum terdidik menunjukkan tren peningkatan. Hal ini menunjukkan pula tidak berjalannya reformasi dunia pendidikan kita di satu sisi dan ketidakmampuan pemerintah dalam memberdayakan kaum pemuda pada sisi lainnya. Yang pasti, secara substansial, ini menunjukkan lemahnya menajemen pembangunan perekonomian nasional, sehingga pemerintah tidak mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi lulusan perguruan tinggi. Fenomena ini sangat meresahkan karena kaum terdidik atau kaum pemuda kita adalah aset sumber daya pembangunan nasional.
Selama kuran waktu 1998 hingga Februari 2007 saja, jumlah pengangguran kaum terdidik mengalami peningkatan yang amat drastis, dari 400.000 menjadi 700.000 orang (75%). Belum lagi kalau kita lihat data lulusan Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas (SMP-SMA) yang tidak sedikit di antara mereka langsung menjadi pengangguran terbuka, pastilah sangat menyedihkan.
Ada tiga indikator fundamental mengapa kecenderungan kaum terdidik menjadi pengangguran setelah menyelesaikan studinya, baik di perguruan tinggi maupun di SMP dan SMA. Pertama, lemahnya konseptualisasi kurikulum nasional. Konseptualisasi pendidikan kita selama ini masih lebih menekankan pada aspek hafalan (memorize).
Implikasinya, keberhasilan pendidikan anak didik lebih banyak diukur dengan angka-angka seperti dalam terminologi ujian nasional. Meskipun aspek memorize ini penting tetapi tanpa diikuti dengan kemampuan analisis (analysis skill), proses pembelajaran akan kehilangan nilai substansialnya. Yaitu, kemampuan berpikir kreatif untuk membangun pradigma ilmu pengetahuan baru yang bisa melahirkan kreativitas dan etos kerja.
Kedua, terkait dengan itu, konsepsi pendidikan nasional belum diarahkan pada satu indikator inventabilitas. Yaitu, kemampuan untuk menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain atau berbagai fenomena aktual yang mendorong lahirnya ilmu pengetahuan baru sebagai dasar kreativitas. Karena itu, proses pendidikan selama ini hanya melahirkan kaum terdidik, bukan melahirkan intelektual yang secara linguistik dan terminologis memiliki diferensiasi makna dan peran sosiologisnya.
Kaum terdidik menunjukkan makna seseorang atau komunitas yang pernah belajar dalam dunia pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Sementara kaum intelektual lebih dipahami sebagai man of ideas, kelompok pemikir yang mempunyai horizon keilmuan luas, komitmen pada moral dan kepedulian sosial tinggi.
Seperti penjelasan Edward A Shils dalam "International Ensyclopedia of The Social Sciences", kaum intelektual memiliki fungsi sebagai agent of social change and moral force. Mereka memiliki kemampuan analisis (analysis skill), etos kerja tinggi dan kreativitas sehingga jarang yang menjadi pengangguran.
Pertanyaannya, mengapa dunia pendidikan di negeri ini tidak mampu melahirkan kaum intelektual? Kondisi ini menuntut perlunya kajian secara mendalam guna membangun tesis baru konseptualisasi pendidikan nasional yang mencerahkan, baik menyangkut soal standar isi maupun kompetensinya, yang memungkinkan lahirnya generasi yang berkualitas korelasinya dengan upaya untuk membangun bangsa dan negara yang lebih baik di masa depan.
Ketiga, secara faktual haruslah diakui pemerintah selama ini tidak memiliki kemampuan untuk membangun perekonomian nasional yang kuat, terbukti dengan tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi maupun sekolah menengah yang secara teoritis pertumbuhan perekonomian akan menyerap tenaga kerja baru.
Inilah sejatinya problematika besar kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Yaitu, kurang berpihaknya para pemimpin bangsa, khususnya ekskutif atau pemerintah yang kurang menempatkan pemuda sebagai aset masa depan bangsa yang harus diberdayakan. Faktanya, setengah abad lebih negeri ini merdeka, tetapi proses pengelolaan sumber-sumber perekonomian nasional yang sangat potensial untuk menunjang kemajuan nasional kita justru diberikan kepada para kapitalis asing.



















RADIKALISME AGAMA DAN PROBLEM KEBANGSAAN

Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini. Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. 
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta bahwa ia lebih berperan sebagai “Republic of Fear“, meminjam istilah Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama “identitas nasional”, hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata demikian rapuh. 
Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi “sekuler”, yang dianggap sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi, 1998)
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah “laskar” atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror, eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi. 
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai “Indonesia” lebih dominan dibangun oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom “identias nasional” tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya. 
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama gerakan fundamentalisme agama. 
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat setempat. 
Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
Dalam perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses “reproduksi” Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang “lebih vulgar”, yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air.(Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002) 
Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara.
Demikianlah, sesungguhnya banyak faktor dan penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air. Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi yang kini tengah berlangsung di depan mata.
RAMADHAN DAN IDENTITAS MASYARAKAT BERPERADABAN
BULAN Ramadhan sesungguhnya layak disebut bulan ilmu sekaligus bulan peradaban dalam tradisi Islam. Bulan ilmu, sebab di bulan suci ini Allah SWT untuk pertama kali menyeru manusia untuk ‘membaca’ (iqra’) melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bulan peradaban, sebab peradaban Islam itu terbentuk dari sebuah tradisi ilmu yang dilakukan oleh individu-individu yang bersih hatinya. Ramadlan merupakan ‘madrasah’ untuk membersihkan hati manusia dan membakar (ramadl) kotoran dosa.
Masyarakat berperadaban itu dibentuk dari individu beradab (insan adabi). Ia digerakkan secara dinamis oleh tradisi ilmu. Di zaman Rasulullah SAW, dinamika dan pergerakan tradisi ilmu lebih marak pada setiap bulan suci Ramadlan.
Teladan Ahlu Suffah
Dinamika komunitas para pengkaji ilmu itu dimotori oleh sahabat-sahabat kenamaan yang biasa dikenal dengan ashabu al-suffah. Seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Para sahabat yang biasa tinggal di teras masji Nabawiy ini pada bulan Ramadlan lebih banyak mengkaji kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Mendiskusikan makna-maknanya sekaligus menghafal ayat dan tafsirannya.
Komunitas ahlu suffah tersebut ternyata memberi kontribusi besar dalam membentuk masyarakat madani di Madinah. Kelompok sahabat yang berasal dari sahabat muhajirin yang berjumlah 70 orang (sebagaian riwayat menyebut berjumlah 51 orang) mengabdikan diri khusus untuk mengkaji ilmu dan ibadah. Di antara mereka kemudian menjadi ilmuan-ilmuan yang menyokong berdirinya masyarakat Islami (al-mujtama’ al-Islamiy) yaitu masyarakat bertamaddun. Di antaranya adalah Abu Hurairah, Khudzaifan bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain (Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah, hal. 96).
Dr. Ikram Dliya’ dalam Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah mengatakan para ahlu suffah tersebut adalah orang-orang zuhud, sederhana, tapi tekun mengkaji ilmu dan memiliki semangat yang tinggi dalam jihad. Digambarkan, bahwa mereka tidak berlebih-lebihan dalam makan, dan hatinya dikonsentrasikan secara penuh untuk ibadah, ilmu dan jihad. Mereka penghafal hadis yang baik, selalu mendiskusikan persoalan-persoalan ilmu kepada Rasulullah SAW dan sahabat lainnya.
Dalam konteks bulan Ramadlan ada beberapa hal yang patut dicontoh dari para sahabat ahlu suffah tersebut. Yakni, kekuatan menahan dorongan nafsu, tradisi ilmu, dan ketangguhan mereka dalam upaya mengubah masyarakat menjadi masyarakat beradab.
Para ahlu suffah merupakan contoh karakter manusia-manusia yang siap menjadi ilmuan muslim yang tangguh. Yaitu, mereka tidak berlebih-lebihan dalam hidupnya. Makan secukupnya, hati ditata menjadi bersih. Dalam kehidupan mereka, seakan-akan setiap harinya itu adalah Ramadlan. Mereka begitu kuat menahand dorongan nafsu. Baik nafsu makan, atau pun nafsu yang merusakkan hati.
Karakter inilah yang siap dalam mendalami ilmu. Yakni jiwa yang bersih dan khudu’ pada Tuhan. Imam al-Zarnuji dalam mengatakan “penyebab lupa adalah perbuatan maksiat dan banyak dosa”. Sedangkan lupa adalah tanda pudarnya ilmu.
Keseriusan mereka dalam menuntut ilmu pada akhirnya menjadikan beberapa di antaranya menjadi pakar. Sehingga mereka menyumbang dalam upaya membangun masyarakat Islami yang beradab di madinah.
Masyarakat Beradab
Maka, sebuah peradaban dengan tata sosial yang madani perlu dipersiapkan individu-individu ideal dengan mengaca pada tradisi yang pernah dilakukan oleh ahl al-suffah. Bagi mereka, semangat Ramadlan itu tidak harus menunggu setahun sekali. Akan tetapi Ramadlan bagi mereka adalah setiap hari. Semangat yang ditunjukkan adalah semangat mengembangkan tradisi ilmu, mengidentifikasi problema masyarakat, menahan nafsu, dan menjaga hati untuk selalu ingat pada-Nya.
Seperti yang dipahami oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, insan adabi adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Artinya ia menjadi sholih secara individual maupun secara sosial. Seorang muslim yang baik, tegas al-Attas, yaitu seorang yang harus dapat melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga dan masyarakat.
Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab primordial. Yaitu dapat dilakukan dengan memenuhi apa saja yang dibutuhkan, baik kebutuhan materi maupun kebutuhan ruhani. Menjaga kebutuhan sehari-hari juga menjag mereka dari api neraka. Amar ma’ruf nahi munkar adalah konsep yang sengaja dipersiapkan untuk menjaga tata sosial masyarakat itu berjalan sesuai aturannya.
Makanya di bulan Ramadlan itu seorang muslim diwajibkan mengeluarkan zakat. Ini merupakan manfestasi dari pembelajaran akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Di samping mereka diajarkan untuk memberi asupan ruhani dan pembelajaran ilmu kepada orang disekitarnya. Maka, tiap individu diajarkan dasar-dasar akidah sekaligus tanggung jawab sosialnya.
Sehingga, dalam tata sosial masyarakat Islam, tiap individu muslim harus memiliki karakter teologis yang kuat. Menurut teori sosiologi Islami Ibn Khaldun, Agama memikiliki peran sosial yang sangat penting dan positif. Ia dapat meredakan pertikaian yang disebabkan oleh iri hati kepada golongan lain. Agama dapat melenyapkan sifat kasar, sombong, dan melatih untuk menguasai hati. Apabila individu-individu religius itu berkumpul menjadi satu akan membentuk kesatuan sosial dan memperoleh kemenangan dan kedaulatan.
Kata Sayyib Qutb, Masyarakat Islami tidak terbentuk tanpa pembelajaran ilmu akidah yang benar. Akidah dalam masyarakat Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya (Nahwa Mujtama’ al-Islamiy, hal. 139).
Oleh sebab itu, momen Ramadlan merupakan waktu yang tidak salah dalam rangka upaya membangun masyarakat yang beradab. Sebab, bulan ini layaknya madrasah yang dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasan bulan suci dengan semarak ibadah dan mengaji sangat mendukung. Masyarakat muslim lebih taat ibadah pada bulan ini. Dan kemaksiatan relative berkurang.
Suasana yang demikian sesunggunya suasana yang dicita-citak peradaban Islam.
Selain itu tradisi Ramadlan di beberapa pesantren yang diisi dengan mengkhatamkan kitab-kitab turats adalah tradisi pembangkit peradaban yang perlu dipelihara. Makanya sesunggunya tepat bila dikatakan Ramadlan adalah bulan ilmu dan bulan peradaban Islam.*
MENAKAR POLITIK KEBUDAYAAN
Dewasa ini struktur pemaknaan yang dominan di semua segi kehidupan adalah ekonomi. Maka, kampanye capres fokusnya ekonomi dan mengabaikan politik kebudayaan. Padahal, politik kebudayaan bisa melemahkan aspek eksploitatif hubungan produksi dan menolong menghadapi secara kritis determinisme ekonomi. Masalahnya, persaingan sebagai pendorong efisiensi (logika ekonomi) mengabaikan logika sosial yang peduli keadilan dan solidaritas. Dua hal ini adalah faktor perekat rasa kebangsaan, lahan budaya perkembangan etos. 
Rasa kebangsaan tumbuh berkat solidaritas, tetapi institusi-institusi sosial ternyata didikte kapitalisme baru yang mendorong ke individualisme. Kapital tak sabar mengubah semua institusi agar bisa menarik pemodal (R Sennett, 2006). Perbaikan performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur kesibukan yang rentan konflik. Lalu, masyarakat hanya kenal satu pola hubungan, yaitu persaingan. Akibatnya, stres tinggi, gelisah, kolega dianggap pesaing. Maka, solidaritas masyarakat melemah. Alasan politik kebudayaan Dalam persaingan itu, peran negara sebagai penengah hampir tak berfungsi karena tiadanya politik kebudayaan. Warga negara diperlakukan seperti konsumen. Padahal, konsumen cenderung individualis karena konsumerisme melemahkan solidaritas. Konsumen tidak terorganisasi sehingga tidak mampu membangkitkan perlawanan
struktural terhadap komersialisasi gaya hidup. Konsumsi menggantikan norma sosial dalam perannya sebagai mesin integrasi dan regularisasi masyarakat (J Baudrillard, 1970). Struktur sosialisasi kehilangan kewenangan. Melemahnya struktur sosialisasi ini diperparah sifat narsisis masyarakat konsumeris.
Hanya peduli pada kebahagiaan sendiri membuat kesejahteraan bersama diabaikan.
Narsisisme butuh perantara, yaitu model. Model selebritas diciptakan media massa.
Maka, program televisi seperti American Idol dan infotainment mencatat rating tinggi.
Budaya sebagai upaya meningkatkan kualitas habitat hidup bersama tidak mendapat
tempat. Maka, berat kendala yang harus dihadapi untuk mengembangkan kebudayaan
dalam arti ”aspek normatif, kaidah etika, pembinaan nilai, dan perwujudan cita-cita serta
mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, etos suatu masyarakat” (JWM Bakker,
1984).
Sedangkan kebijakan publik yang menekankan ekonomi rentan konflik karena memihak yang kuat. Saat hubungan kekuatan menentukan arena sosial, pembelajaran untuk
menerima perbedaan tak dipedulikan lagi. Lalu, aneka institusi sosial cenderung menghasilkan diskriminasi. Maka, penting memiliki visi kebudayaan. Ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan (L Bonet, 2007). Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif. Kedua, perlunya menempa identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu memelihara kekayaan kolektif (budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat. Pelembag an diskriminasi Arah politik multikultural ialah ”pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui” (W Kymlicka, 2000).
Rumusan ini mengandung tiga unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas. Politik multikultural mau memastikan jaminan itu terwujud dalam kebijakan publik dan sistem hukum sehingga cita-cita etika politik terwujud ”semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusiinstitusi yang adil”.
Institusi adil bila inklusif. Maka, undang-undang/peraturan tidak boleh diskriminatif.
Legislasi bisa menjadi alat pelembagaan diskriminasi dalam hubungan sosial, pekerjaan, dan jabatan. Diskriminasi hukum terjadi bila negara terlalu melegalisasi pelarangan norma moral. Masyarakat berhak mencegah anggotanya merugikan pihak lain. Namun, orang bisa mempertanyakan bila pencegahan diartikan menerapkan keseragaman dengan ukuran moral kolektif. UU/peraturan yang diskriminatif memperparah segregasi sosial. Dinamika otonomi daerah membuka peluang pemerintah pusat menemukan perannya melalui politik kebudayaan, yaitu menegaskan arah dan cita-cita bangsa. Membangun budaya inklusif Bangsa mengandaikan, pertama, acuan ke budaya inklusif termasuk sistem gagasan, etos, cara bertindak, dan komunikasi; kedua, bangsa akan kuat bila anggota-anggotanya saling mengakui hak dan kewajiban masing-masing karena status sama (E Gellner, 1983).
Kedua syarat ini memungkinkan terciptanya bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas anggotanya. UU/peraturan yang diskriminatif berarti tidak mengakui kesamaan hak dan kewajiban warga negara. Empat sasaran politik multikultural: pertama, membentuk habitus toleransi, keterbukaan, dan solidaritas. Pertaruhannya bukan hanya mengelola warisan budaya, seni, dan bahasa, tetapi juga masalah konservasi, pendidikan, dan kreasi.
Kedua, membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang
publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya dan memfasilitasi konsensus. Dampaknya, frekuensi perjumpaan berbagai kelompok berbeda tinggi dan kategori masyarakat yang ambil bagian dalam keputusan kolektif diperluas. Ketiga, untuk mengimbangi kebijakan ekonomi yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan sistem baru representasi dan partisipasi. Sistem ini memerhatikan aspirasi budaya, pada gilirannya mengembangkan kapital sosial. Kapital sosial berakar pada jejaring asosiasi dan civisme, yang merupakan tanah subur bagi kesadaran akan makna tanggung jawab kolektif (J Subirats, 2008:61). Kapital sosial, faktor kohesi sosial berkat hubungan kepercayaan, membuat politik lebih peduli solidaritas dan kesejahteraan bersama. Keempat, penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik. Dari fisik-sosial, perlu dikembangkan bentuk baru permukiman, tata kota, atau perencanaan teritorial agar menghindari segregasi sosial atas dasar etnik atau agama (T Bennett, 2008:23). Dari budaya, pemerintah harus menjamin dimensi multikultural dalam ekspresi di ruang publik, seperti seni, teater, musik, film, sastra, dan olahraga. Maka, pemerintah wajib mendorong pengelola media massa agar peduli pada dimensi multikultural dengan insentif subsidi atau keringanan pajak. Dari politik, kebijakan publik perlu memasukkan program representasi minoritas dalam politik, pendidikan, dan lapangan kerja.









Manifesto gerakan Intelektual Profetik IMM dapat dijabarkan dengan beberapa indikator Gerakan Transformasif Profetik, gerakan transformasi profetik tersebut berdasarkan tiga pilar dalam etika profetik nyatu; humanisasi, liberasi dan trasendensi, dapat diterjemahkan kedalam indikator yang meliputi Indikator Cendikiawan atau Intelektual Profetis, Metodologi Transfomasi Profetis, Indikator Transformasi Profetis, dan Aksi Transformasif Profetis.
A.    Indikator Intelektual Profetis
Keinginan seseorang untuk menjadi seorang cendekiawan adalah merupakan keputusan yang sulit. Bukan keterpelajaran dan kecerdasan saja layaknya seorang sarjana atau profesor yang dibutuhkan. Sebut sajalah gologan yang cerdik dan pandai yang menerbangkan pada permadani menara gading tempat huniannya, tetapi cendekiawan tentunya mementa lebih dari itu. Seperti halnya nabi Muhammad, betapa cendekiawanya telah membawa konflik lahir dan batin dalam dirinya manakala ia dihadapkan dengan pertanyaan dan persoalan kaumnya. Seyogyanya seorang cendekiawan kerap merasakan konflik dan gelisah, gusar, serta serah tatkala ada diskrepansi apa yang ia rasakan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Cendekiawan merupakan salah satu unsur yang dapat melakukan transformasi sosial, bila mana sadar diri dan sadar sosial ditengah-tengah masa yang talah tidur bahkan sedang amnestia.  Mereka memiliki kepedualan untuk membangkitkan kesadaran masyarakatnya dan menjadi motor penggerak bagi perubahan sosial menuju ke arah yang lebih baik. Bagi Kuntowijoyo cendekiwan berani pilihan dan jalan cara dalam melakukan transformasi sosial, memiliki sifat independen dan hurus berani, tidak berpangkat dan tak berhata. Bahkan sifat kecendekiawan Kunto dapat terlihat dalam salah satu puisinya dari judul bukunya Daun Makrifat, Makrifat Daun, ia menuliskan; sebagai hadiah, malaikat menanyakan, apakah aku ingin berjalan diatas mega, dan aku menolak, karena kakiku masih di bumi, sampai kejahatan terkhir dimusnahkan, sampai dhu’afa dan mustadh’afin, diangkat Tuhan dari penderitaan.
Indikator intelektual terbagi menjadi dua macam pada individu kader dan ikatan atau kolektif kader yang berada dalam ikatan; 
1.      Individu Kader
Kategori individu menunjukan masing-masing individu dalam ikatan memiliki kemampuan cendekiawan sebagai salah satu manifestasi dari kesedaran profetik dalam transformasi profetik. Karakter cendekiawan meliputi beberapa klasifikasi.
a.       Sadar dengan dirinya sendiri
Seorang cendekiawan menyadari potensi yang ada dalam diri sebagai anugrah dari Tuhan dan berupaya memalukan anugrah tersebut untuk kepentingan kemanusiaan. Potensi yang berasal dari dalam diri dapat dilihat dari eksistensi manusia yang dari berbagai macam dimensi. Potensi yang berasal dalam diri tersebut dikembangankan menjadi sebuah eksistensi yang berada dalam diri manusia, menjadi mahluk yang sadar dengan diri sebagai seorang khalifah, hamba Tuhan dan melakukan tugas kemanusiaan karena rasa cinta yang Ikhlas untuk Tuhan sebagai hamba-Nya dalam rangka menebar sifat-sifat Tuhan di muka bumi.  Seorang cendekiawan dengan sadar diri melakukan pilihan apa yang dilakukan untuk tugas kemanusiaan dalam rangka menggantikan Tuhan di muka bumi. Proyek-proyek yang dilkukan oleh cendekiawan adalah yang berkaitan untuk kepentingan kemanusiaan dan memberikan kebermanfaatan bagi alam, sesama dalam rangka ibadah kepada Tuhan.  Senada yang telah diutarakan oleh Kunto bahwa cendekiawan independen, berani tidak berpangkat dan berharta dalam rangka melakukan transformasi profetik. Cendekiawan dilahirkan dari sikap, kesadaran diri dan mengerti diri potensi yang dimiliki baik secara anugrah dan disiplin keilmuan yang dimilikinya. Cendekiawan yang dimaksudkan merupakan manusia yang berupaya tidak bergulat dalam dataran keilmuannya atau hanya tinggal dipermadani kaumnya tanpa melihat realitas sosial dan melakukan tranformasi.
b.      Sadar terhadap realitas sosial
Kesadaran dalam realitas seorang kader ikatan menyadari bahwa realitas bersifat terbuka, dan bisa diubah bukan tertutup (given). Dunia atau realitas merupakan lahir dari kesadaran manusia, kreasi manusia dan dapat diubah oleh manusia.  Kesadaran manusia disini dapat merubah, rekayasa terhadap realitas dalam rangka untuk kemanusiaan dan kebermanfaatan bagi alam semesta. Realitas merupakan bentukan manusia seperti dalam bukunya Peter L. Berger, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pegetahuan, realitas merupakan dialektika internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi yang terus menerus tak berkesudahan. Realitas yang merupakan bentukan manusia melalui internalisasi dan manusia bentukan realitas melalui internalisasi dan cara merubah realitas tersebut dengan cara mengekternalisasi realitas. Perubahan atau rekayasa terhadap realitas sepenuhnya dilakukan oleh manusia lewat potensi yang dimilikinya.  
c.       Peka terhadap realitas sosial
Kaderikatan memiliki kepekaan terhadap realitas sosial dan dapat membaca serta menguraikan struktur serta kelompok yang berkepentingan dalam realitas. Individu kader memiliki kemampuan untuk memilihat kontradiksi dalam segala hal baik agama, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan dapat mengkaitakan relasi masing-masing kelompok sosial. Karakter peka yang dimiliki kader dapat mengurai adanya berbagai kontradiksi, relasi pelaku dan tarik menarik kepentingan dari suatu fenomena. Seorang kader dapat membaca dan menganalisa hal yang terjadi dalam lingkunganya dan sekitar tempat kader berkembang dalam memahami realitas sosial.
d.      Peduli terhadap realitas sosial
Karakter peduli yang berada dalam ikatan merupakan tindak lanjut dari sadar diri, sadar dengan realitas dan peka maka seorang kader memiliki kepedulian, memiliki rasa tanggungjawab sebagai bagain dari realitas. Kepedulian merupakan hasrat, ketetapan hati, dan komitmen serta konsisten bahwa realitas harus di ubah dan wajib untuk diubah demi kondisi yang lebih baik. Sikap peduli merupakan ruh bahwa ia harus berbuat dalam aksi merubah realitas sosial. Peduli disini baru sikap empati dan merasa bertanggungjawab terhadap realitas sosial yang terjadi kenapa begini, mengapa begitu, serta apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi dan merubah realitas tersebut sehingga menuju yang lebih baik untuk kemanusiaan dan alam.
e.       Aksi nyata sebagai respon terhadap realitas sosial 
Aksi merupakan suatu tindakan nyata dalam melakukan transfomasi dalam rangkai keasadaran intelektual yang memiliki tradisi profetik seperiti yang diakukan olen para nabi untuk membebaskan umatnya. Karakter aksi merupakan simpul yang penting dan tidak boleh lepas karena itu yang ditunggu dalam memakukan transformasi. Aksi merupaka keterlibatan sepenuhnya dan sebenarnya dalam proses transformasi pada kondisi yang lebih baik. Pada karakter aksi tersebut kader memiliki keberpihaklan yang jelas siap yang akan dibela oleh ikatan dalam ralasi kelompok yang berkepentingan. Pemilihan pemihakan merupakan pilihan yang sulit harus dilakukan oleh ikatan dan melakukan kajian siapa pihak yang dirugikan tertindas dalam suatu relasi dari realitas sosial. Keberpihakan merupakan pintu gerbang yang utama dari pintu masuk untuk melakukan aksi nyata dalam melakukan transformasi sosial.
f.       Evaluasi
Sebagaimana perkataan bijak dari seorang filosof Socrates “hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalani”. Begitupula dengan kader ikatan melakukan evaluasi pada diri apa yang talah dilakukan bagaimanakah respon setelah aksi tersebut dilakukan. Cara evaluasi yang dilakukan oleh kader dengan melihat tingkat perubahan pada subjek dalam transformasi dengan cara melakukan, proses melakukan dan hasil dari tindakan tersebut. Evaluasi yang dilakukan oleh kader sesuai dengan apa transformasi yang dilakukan dalam menuju kearah yang lebih baik. Evaluasi yang dilakukan dengan cara pada individu kader dan subjek dalam transformasi atau evaluasi bersama dan penuh sifat keterbukaan.

2.      Ikatan/organisasi dalam bentuk kolektif.
Sebagai sebuah organisasi sebagai yang menisbatkan diri sebagai gerakan intelektual profetik dalam ikatan harus dilaksanakan dalam segala level organisasi dengan berkesadaran profetik. Kebijakan yang diambil oleh organisasi berdasarkan nilai-nilai yang berazaskan intelektual profetik. Kesadaran intelektual profetik bergerak dalam semua lini kehidupan dan menjadi pilihan sadar ikatan dalam melakukan transformasi sosial untuk menuju yang lebih baik. Kesadaran intelektual profetik menjadi paradigma gerakan yang menjadi kesadaran kolektif dalam ikatan, yang memiliki klasifikasinya sebagai berikut;
a.        Sadar dengan diri ikatan
Sadar dengan diri ikatan merupakan unsur yang penting sebelum melakukan transformasi sosial yang akan dilakukan. Kesadaran dalam ikatan merupakan penilaian ikatan dalam berbagai sisi dan potensi atau kekuatan ikatan dalam melakukan transformasi sosial yang akan dilakukan. Potensi yang berada dalam ikatan merupakan. Potensi dalam ikatan tersebut merupakan esensi ikatan yang harus dieksistensikan kedalam dan keluar ikatan agar dapat memberikan makna bagi kader yang bersangkutan dan masyarakat pada umumnya. Pengeksistensianya ikatan dalam ranah puplik menjadikan ikatan memiliki makna dan bernilai bagi pergerakan yang lain. Eksistensi ikatan yang dalam ranah puplik didasari oleh tiga pilar profetik yang menjadi paradigma ikatan dalam melihat dan melakukan transformasi sosial yang dilakukan menuju khoirul ummat. 
b.      Sadar terhadap realitas sosial
Karakter sadar terhadap realitas sosial yang dalam ikatan hampir sama dengan yang berada dalam idividu kader. Karakter sadar dalam individu kader diperluas menjadi kesadaran kolektif dalam ikatan menjadi suatu organisasi yang penting dan bagian dari realitas sosial. Dalam artian kesadaran tersebut menjadikan ikatan harus bertanggung jawab terhadap kondisi realitas sosial sehingga menciptan yang lebih baik.
c.       Peka terhadap realitas sosial
Peka dalam keoraginasasian merupakan hampir sam dengan yang berada dalam individu ikatan dan perluasnya terdapat pada relasi antar kelompok sosial dan tarik-menarik kelompok yang berkepentingan didalamnya. Ikatan dapat menempatkan diri sebagai bagian dari kelompok sosial yang berkepentingan dan merupakan konfigurasi dari realitas sosial. Kepentingan dari ikatan disini menjadi modal yang dan arah tujuan yang jelas dari perjuangan atau pilihan yang dilakukan dalam menempuh perjuangan dalam melakukan transformasi sosial. Ikatan memiliki latar belakang sebagai seorang mahasiswa dan merupakan bagian dari ortom Muhammadiyah merupakan kelompok yang berkepentingan sesuai dengan tujuan terbentuknya ikatan. Pilihan yang dilakukan ikatan merupakan kader penerus dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah, yang merupakan bagian dari realitas sosial yang bergerak pilihan dalam ranah intektual. Maka yang menjadi pilihan gerakan ilmu yang dilakukan oleh ikatan agar masuk dalam segala lini berdasarkan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing kader.
d.      Peduli dan responsif terhadap realitas sosial
Karakter peduli tersebut disertai dengan responsif terhadp realitas sosial. Perluasan penambahan responsif ini merupakan langkah awal dari ikatan. Perluasan ini juga merupakan ikatan merupakan suatu bagaian dari kelmpok sosial dalam masyarakat. Responsif tersebut diperluka dikarenakan ikatan komunitas dalam masyarakat, responsif ikatan merupakan kemampuan ikatan untuk menanggapi dan mengartikulasi kepentingan kelompok yang diwakilinya dan bagaimana dengan ikatan.
e.       Aksi/tindakan nyata
Pada karakter bagian ini merupakan sudah jelas, ikatan tidak hanya terlibat dalam melakukan transformasi tetapi menjadi pelaku utama dalam transformasi yang dilakukan. Aksi yang dilakukan oleh ikatan merupakan tindakan real yang dilakukan agar terbentuk masyarakat yang dicita-citakan oleh ikatan. Aksi tersebut merupakn tindakan nyata sebagai mana dalam perkataan bijak Karl Marx, “tugas filosof bukan untuk menginterpratasi dunia tetapi untuk merubah dunia”. Begitupula dengan ikatan bukan hanya untuk menafsirkan tentang dunia tetapi bagaimana cara merubahnya.
f.       Kesadaran perlunya kolektivitas
Kesadaran dan aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi menjadi kesadaran kolektif dalam ikatan dan melibatkan semua komponen dalam suatau komunitas sosial dan dalam diri ikatan segenap level pimpinan. Pada karakter tersebut menjadikan bahwa ikatan bukan satunya organ yang melakukan perubahan sosial, tetepi disini ikatan dapat melakukan kerjasama dengan pergerakan yang lain atau kelompok yang sama dengan apa yang dicita-citakan oleh ikatan. Kerjasama yang dilakukan oleh ikatan merupakan aksi yang dilakukan bersama guna tercapainya tujuan yang diidam-idamkan bersama.  
g.      Visioner dan pelopor
Karakter ini menjadikan ikatan menjadi pelopor dan visioner dalam pembacaan, analisa terhadap realitas sosial, dan melakukan transformasi sosial. Ikatan disini memiliki mimpi atau cita-cita dalam realitas sosial yang akan datang. Sifat tersebut menjadikan dasar analisa terhadap realitas sosial yang sekarang dan bagaimana mewujudkan mimpi tersebut. Pemahaman tersebut diaharapkan memberikan pemilihan gerakan, aksi dan pemilihan program yang dilakukan oleh ikatan dan diutamakan dalam ikatan guna tercapai cita-citanya.
B.     Metodologi (Proses) Transfomasi Profetis
Metodologi merupakan bagaian yang penting, hal tersebut dikarenakan dengan metodologi menjadikan ikatan berfikir dan bertindak dalam mewujudkan cita-cta yang diinginkan dapat di pantau perkembangannya. Dengan pemantauan tersebut iktan dapat melakukan evaluasi terhadap program yang telah dilaksanakan. Dalam metodologi profetis yang beradasarkan tiga pilar tersebut paling tidak terdapat tiga ciri utama; refleksi dengan belajar dari pengalaman, dialogis dan pengkontektualisasian doktrin agama, serta arahannya.
1.      Refleksi dengan belajar dari pengalaman.
Refleksi merupakan unsur yang penting dari suatu realitas, dengan refleksi tersebut menjadikan pembelajaran terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat. Pembelajaran dari pengalaman menjadikan yang nyata bukanlah para teoritikus melainkan keadaan nyata dalam masyarakat dan pengalaman seseorang atau kelompok yang terlibat langsung dalam masyarakat. Pembelajaran dari pengalaman menjadikan pengetahuan tidaklah menjadi dewa dan memiliki otoritas yang tinggi, tetapi keabsahan dari pengetahuan dilihat dari pembuktiannya dalam realitas menjadi pengalaman langsung bukannya dalam dataran teoiritis atapun retorika belaka. 
2.      Dialogis
Pemahaman dialogis disini merupakan unsur penting dalam perubahan yang dilakukan guna mewujudkan cita-cita ikatan. Proses transformasi yang dilakukan ikatan sebagai fasilitator dan tidak ada guru dan murid. Pembelajaran dan pemahaman terhadap realitas silakukan bersama oleh pemberlaku pemberdayaan dan dalam iklim dialogis komunikasi tidak ada dominasi. Proses dialogis dengan komunikasi aktif dan keterbukaan dalam mewujudkan masyarakat komunikastif.   
3.      Pengkontekstualisasian doktrin agama serta arahannya.
Kontekstualisasi merupakan objektifiaksi terhadap kalam Ilahi agar tidak bersifat subjektif dan diterima objektif diluar golongan Islam. Dengan objektifikasi menjadikan agama menjadi ruh dan kalam ilahi menjadi rahmat bagi semesta dan manusia. Kontekstualisasi menjadikan agama sebagai proses pembebasan terhadap problem kemanusian yang terjadi. Dengan agama ini menjadikan ruh juga arahan dalam transformasi sosial yang dilakukan yang dicita-citakan dalam khoirul ummat.
Metodologi profetis dilakukan melalui proses suatu daur belajar dari pengalaman yang terstruktur didasari dengan nilai-nilai Ilahiah. Pembelajaran ini tersistematiskan sebagai berikut; pembacaan realitas, melakukan (refleksi) menjadi realitas I, merangkai ulang (rekontruksi), analisis, kesimpulan, menerapkan, evaluasi. Gambaran dalam metodologi profetis sebagai berikut;
a.       Pembacaan terhadap realitas
Pembacaan merupakan proses awal dalam metodologi kritis, hal tersebut dikarenakan ikatan harus mengenali subjek yang akan dijadikan sebagai lahan dalam melakukan transformasi sosial. Pembacaan ikatan dapat mengenali kekuatan subjek dalam transformasi, bentuk transformasi yang akan dilakukan dan pemilihan gerakan dalam melakukan transformasi yang lebih baik.
b.      Melakukan (refleksi) menjadi realitas
Selanjutnya setelah pembacaan terhadap realitas adalah melakukan dengan cara merefleksikan pengalaman ataui perristiwa-peristiwa nyata dari subjek. Melakukan merupakan langkah awal karena penggalian pengalaman subjek yang akan dijak melakukan perubahan yang lebih baik.
c.       Merangkai ulang
Merangkai ulang merupakan pengungkapan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian (prosesnya) dari realitas/pengelaman/peristiwa. Setelah pengungkapan kembali dari realitas tersebut maka memberikan tanggapan, kesan terhadap peristiwa tersebut. Tanggapan dan pengungkapan fakata dalam realitas merupakan langkah awal sebelum melakukan analisa karena merupakan data awal terhadap realitas yang real.
d.      Analisis
Tahapan selanjutnya analisis merupakan kita menguraikan fakata dan data yang diperoleh dari rangkaian ulang peristowa yang telah terjadi. Analisis  merupakan uraian dan pengkajian terhadap sebab-sebab, dan kemajemukan dari suaru permasalahan yang ada dalam realitas. Analisis yang dilakukan meliputi tatanan, aturan, sistem, yang menjado akar persolan.
e.       Menyimpulkan
Menyimpulkan merupakan tahapan selanjutnya dari analisis, menyimpulkan merupakan merumuskan makna atau hakekat dari realitas sebagai suatau pembelajaran dan pemahaman pengertian baru yang lebih utuh. Kesimpulan tersebut berupa prinsip-prinsip berbentuk kesimpulan umum (generalisasi) hasil dari pengkajian atas pengalaman. Kesimpulan merupakan langkah  pengkajian terhadap realitas dan mengambil penyebab dari persoalan yang terjadi dalam masyarakat dan bagaimana cara melakukan transformasi sehingga terciptanya tatanan yang lebih baik.
f.       Menerapkan
g.      Setelah melakukan analisis maka tahapan selanjutnya menerapkan, menerapkan yakni memutuskan untuk melakukan tindakan baru dalam merubah realitas sosial. Menerapkan merupakan langkah bagaimana melakukan transformasi dan bentuk transformasi yang dilakukan oleh ikatan. Tahapan melakukan ini memilki rencana, tujuan, target sehingga dapat dilihat proses dan hasilnya. Proses melakukan tersebut pada gilirannya akan menjadi pengalaman yang harus dipelajari dan merupakan bagain awal dari metodologi kristis. 
h.      Evaluasi
i.        Evaluasi
merupakan bagian yang penting dikarenakan semua program dalam melakuklan transformasi sosial dapat dioraskan oleh subjek tersebut dan fasilitataornya. Evaluasi yang dilakukan dengan cara sistematika metodologinya, evaluasi yang dilakukan menjadikan dalam metodologi tersebut bersiofat lingkaran singuler dan tahapan selanjutnya menjadi realitas II dan selanjutnya tanpa berkesudahan.
C.     Indikator Transformasi Profetis
Indikator profetis merupakan suatu proses perubahan yang berakarter kenabian yang diilakukan secara menyeluruh (sistemik) dengan melibatkan seluruh komponen (partisipatoris) dan peubahan tidak hanya dalam bentuk materi melainakan yang terutama adalah kesadaran dan kerangka berfikir terhadap realitas. Perubahan tersebut dilakukan buklan hanya dalam dataran sendiri atau individu kader tetapi dilakukan oleh seluruh elemen dari realitas sosial tersebut. Ikatan beertugas sebagai fasilitator dalam melakukan transformasi yang akan dilakukan. Berikut ini merupakan indikator profetis dalam melakukan transformasi sosial yang dilakukan;
1.      Perubahan sistematis
Perubahan yang sistematis merupakan tujuan dari transformasi yang dilakukan oleh ikatan dengan bentuk transformasi menyentuh seluruh komponen dari suatu realitas sosial.  Bentuk transformasi sosial yang dilakukan buka bersifat parsial tetapi memiliki genelogi yang jelas dan arah tujuan yang jelas pula. Perubahan yang sistematis dengan bentuk transformasi sosial yang dilakukan seperti revolusi yang pernah terjadi pada masa nabi yakni perubahan secara radikal dan menyeluruh.
2.      Partisipatoris
Transformasi yang dilakukan oleh ikatan besifat partisipatoris fungsi ikatan hanya sebagai fasilitator dalam perubahan biarlah subjek digerakkan berdasarkan kesadaran mereka terhadap diri dalam memahami realitas dan masyarakat menentukan arah transformasi menuju yang lebih baik. Partisipatoris perubahan yang dilakukan melibatkan sebenar-benarnya seluruh elemen masyarakat. Transformasi yang dilakukan bukan hanya pada kelompok yang dominan atau rezim penguasa dimana kelompok moniritas hanya boleh mengikuti saja. Perubahan tidak dilakukan oleh organ luar  selayaknya dewa maha tahu   terhadap realitas suatu komunitas. Bentuk transformasi merupakan milik seluruh elemen yang bersangkutan, hal ini dikarenakan transformasi menjadi milik semua elemen dan masayarakat sendiri yang menentukan cara dalam melaksanakan transformasi yang dilakukan.
3.      Perubahan spiritual dan material
Perubahan dalam bentuk spiritual dan material dalam artian dalam melakukan transformasi sosial meliputi dua dimensi transformasi kesadaran yang berifat spiritual denga melakukan rekontruksi terhadap pemahaman agama yang tak bersifat liberatif dan agama sebagai sarana pemecahan terhadap persolan kemodernan seperti persolan gender, problem humanisasi, kerusakan alam dan yang lain. Beangkat dari perubahan dalam bentuk kesadaran, menjadikan semangat serta arahan dalam transformasi dalam bentuk material. Sebagaimana yang telah dikatan oleh Kunto, kesadaran super struktur menentukan kesadaran struktur. Kesadaran tersebut merupakan kesadaran yang berada dalam ajaran agama Islam.  
4.      Alur metodologi profetis   
Proses transformasi profetis mendasarkan diri pada metodologi profetis. Transformasi profetis tidak dapat dilepaskan dari kesadaran intelektual profetis dan metodologi profetis.  Transformasi profetis yang dilakukan oleh ikatan merupakan jalan untuk mencapai tujuan dan cita-cita ikatan guna mewujudkan khoirul umat.
D.    Aksi Transformasi Profetis
Transformasi profetis yang dimaksudkan transformasi yang dilakukan oleh ikatan berdasarkan nilai-nilai Ilahiah sebagai bentuk yang transformasi yang dilakukan oleh organ atau gerakan yang lain. Bahasa yang digunakan oleh cendekiawan profetik dalam melakukan transformasi sosial adalah menggunakan bahasa kaumnya, dan menghunungkan agama dengan kencendrungannya untuk melakukan perubahan sosial menuju yang lebih baik. Transformasi profetis merupakan tindak lanjut dari sikap intelektual profetik dengan melakukan perubahan sosial yang berkarakter profetis, yang dapat disebut dengan transformasi profetis. Transformasi profetis tidak dapat dilepaskan dengan cendekiawan profetis, layaknya seorang dikatakan intelektual profetis dalam tindakannya atau prilakunya harus dilakukan dengan transformasi profetis. Sebaliknya transformasi profetis tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman seorang cendekiwan profetis dalam melihat realitas sosial. Prilaku profetis mereflesikan bentuk pra aksi dan transformasi profetis menggambarkan bentuk real aksi yang dilakukan.
Dalam aksi transfomasi profetis terdapat proses ataupun metodologi yang dilalui , dan berikut ini merupakan rincian dalam trasformasi profetis;
1.      Prioritas (pilihan) isu/program/kasus
Setelah mel;akukan pembacaan terhadap realitas dan melkukan analisis kritas maka merumuskan hasil bacaan tersebut. Dengan melakukan pembacaan terhadap realitas belum tetu analisis terhadap realitas selesai, analisis tetap dilakukan dan sekarang merupakan tindakan konkret atau aksinyata dalam melakukan transformasi profetis. Tetapi, sebelum melaksanakan aksi profetis ikatan perlu melakan pilihan isu atau program yang dilakukan dalam melakukan transformasi profetis. Pemilihan isu tersebut, merupakan hal yang penting dikarenakan isu tersebut hars dapat dirasakan oleh semua kader yang bersangkutan di semua level pimpinan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan transformasi tersebut.
2.      Pemililihan pemihakan
Setelah melakukan kajian dan menentukan pilihan isu yang dijadikan suatu persolan sosial maka yang selanjutnya menentukan pilihan pemihakan. Analisis klritis yang dilakukan oleh intektual profetis didapatkan skema pelaku-pelaku (stakeholder) yang terdapat posisi relasi dalam suatu kasus yang terdapat dalam realitas sosial. Pada tahapan ini ikatan menetukan pemilihan pemihakan terhdap kasus tau problem yang terjadi dalam realitas sosial, sebagai pelaku dalam transformasi profetis. Pemilihan pemihakan yang dilakukan oleh ikatan dilakukan secara sadar dan tanggungjawan dengan pemihakan terhadap yang termarginalkan, dirugikan atau tertindas.
3.      Membentuk kelompok inti
Sarana untuk memalukan perubahan ssosial menurut Jalaluddin Rahamat adalah membentuk creative minority. Begitupula, dengan ikatan harus ada segolongan atau kelompok yang peduli terhadap ikatan yang meberikan sumbangsihnya dengan bercurah gagasan dan ide dalam melakukan transformasi profetik.  Creative minority merupaka kelompok yang memiliki peranan, penggagas, pengerak, pemrakarsa, pengendali utama dalam melakukan transformasi profetis, sekaligus pemenggang kebijakan, tema atau isu strategi dan sasaran dari sutau aksi transformasi profetis yang dilakukan oleh ikatan. Kelompok minoritas tersebut tidak hanya dalam dataran idea melakukan konsep tetapi ia sebagai pemengang dan penngendali konsep dalam tindakan nyata dalam melakukan transformasi profetis yang dilakukan oleh ikatan.  
4.      Merancang sasaran dan strategi
Merancang sasaran dan strategi dalam melakukan transformasi sangat penting dikarenakan agar sasaran dan stragetgi dalam meakukan transforasi dapat terlihat dan dilakukan analisis dan yang terpenting adalah terpantau. Merncang dan menentukan strategi sudah termasuk dalam dataran teoritis sekaligus praktis, dikarenakan kita merancang praktis dalam melakukan transforamsi profetis. Rancangan tersebut dapat mengikuti tolak ukur SMART, yang meliputi sebagai berikut;
a.       Spesifik (khusus)
Dalam menentukan rumusan dan sasaran kelompok bersifat spesifik, konreat, jelas, fokus dan tidak terlalu umum. Sifat ini menjadikan jelas siapa dan kenapa memilih kelompok untuk menjadikan subjek dalam transformasi.
b.      Measurable (terukur)
Dalam proses melakukan transformasi dapat dilakukan evaluasi dan memperbaikinya. Jadi hasil dan proses dalam transformasi cukup terukur (memiliki indikataor yang jelas bisa dipantaui dan diketahui)
c.       Achievable (dapat diraih)
Apa yang dilakukan merupakan suatu uotopia, tetapi transformasi yang dilakukan oleh ikatan bukan hanya bersifat angan-angan, hal tersebut dilakukan karena memiliki tujuan serta indikator yang jelas. Begitupula, transformasi yang dilakukan merupakan sesuatu yang dapat diraih, diwujudkan dan bukan hanya sekedar angan-angan kosong.
d.      Realistik (sesuai kenyataan)
Ikatan dalam melakukan transformasi dalam bentuk yang realistik dengan situasi, keadaan ikatan serta kelompok yang dijadikan subjek dalam transformasi. Ikatan atau kelompok yang dijadikan subjek transformasi mampu melakukan, melaksanakan, dan dapat mencapainya (memiliki sumber daya, kemampuan dan akses).
e.       Time-bond (batas waktu)
apa yang dilakukan oleh ikatan seperti dalam transformasi memiliki batas waktu yang jelas (kapan dan berapa lama) kelompok ataupun ikatan yang melakukan transfomasi.
5.      Menggalang skutu dan pendukung
Pelaksanaan transfomasi yang dilakukan dengan hasil penganalisaan maka terbagi kelompok yang mendukung dan yang tidak. Oleh karena itu ikatan mencari kelompok yang dijadikan sekutu dan pendukung dalam melakukan transformasi yang akan dilakukan. Dalam transformasi terdapat lingkaran inti ia sebagai penggerak untama dalam aksi transformasi profetis. Aksi transformati profetis terdiri dari kelompok-kelompk yang mendukung dalam transformasi. Kelompok dalam transformasi ini terdiri dari; kelompok basis (lingkaran inti), kelompok pendukung, dan kelompok sekutu (sebagai garis depan).berikut ini merupakan rincian dari masing-masing kelompok;
1.      Kelompok inti
Kelompok ini sebagai konseptor, pemegang kebijakan dalam aksi yang dilakukan oleh ikatan sekaligus sebagai pionir dalam transformasi tersebut.
2.      Kelompok pendukung
Kelompok ini memiliki tugas sebagai menyediakan dukungan dalam bentuk dana, logistik, informasi, data, sekaligus akses.
3.      Kelompok sekutu-pelaksana aksi
Kelompok ini memiliki tugas dilapangan dan dalam garis depan dalam melakukan transformasi yang dilakukan oleh ikatan.
6.      Membentuk pendapat umum
Salah satu bentuk yang dilakukan oleh ikatan dalam melakukan transformasi memberitahukan kepada hal layak dalam bentuk kampanye dan propaganda tentau isu atau aksi yang dilakukan. Harapannya adalah mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat, kampanye dan propaganda ini dilakukan dalam media masa, atau pelatihan, demontrasi dan sebagainya semala masih dalam bentuk perlawanan. 
7.      Pemantauan dan evaluasi program aksi
Pelaksanaan yang dilakukan secara terprogram dan terlihat dapat dilkuan evaluasi sehingga dapat memperbaiki dan melakukan kajian yang lebioh mendalam lagi. Pemantauan aksi tersebut memerlukan instrumen yang meliputi empat unsur.
1.      Sasaran hasil
Sasaran hasil merupakan suatu keadaan tertentu yang diinginkan dicapai setelah pelaksanaan kegiatan
2.      Indikator
Indikator adalah beberapa petujuk tertentu yang akan meyakinkan apakah sasaran atau hasil sudah tercapai atau belum
3.      Pengujian
Pengujian merupakan cara yang digunakan untuk memmperoleh bukti-bukti yang menunjukan bahwa indikator tersebut mencapai tujuan atau tidak.
4.      Asumsi
Asumsi merupakan suatu keadaan tau hal tertentu yang menjadi prasyarat terlaksananya kegiatan yang direncanakan sehingga indikator benar-benar terwujud dan sasaran dapat dicapai.






















0 komentar:

Posting Komentar