REFLEKSI PEMIKIRAN KADER HIPERMAMUTAS
Oleh : La Arcan
IDENTITAS
DAN INDAHNYA BERFIKIR
1. Identitas
Saya lahir pada tahun 1989 di pulau kecil.Dimana pulau itu merupakan
pulau saya dibesarkan yaitu pulau batuatas tepat desa Wacuala, sekarang
Taduasa.Saya berasal dari keluarga yang memang pas pasan. Dari detik kemenit,
dari menit ke jam, dari jam ke kehari, dari hari ke pecan, dari pecan ke bulan,
dari bulan ke tahun, orang tuaku berinisiatif untuk menyekolhkan saya di bangku
SMK, dan saya menyetujui permintaan orang tuaku yang begitu arif mau
menyekolahkan saya. Karena walaupun juga bagaimana ini untuk kebaikan saya.Saya
mencoba mendaftar di SMK N I Bau – Bau.Alhamdulillah saya lulus di Bidang
Bisnis dan Manajemen Jurusan Akuntansi, semasih saya SMK dulu saya pengen
sekali berbakti kepada kedua orang tuaku.Maka keputusan yang saya ambil untuk
membahagiakan orangtuaku pada saat itu adalah saya sering ikut kajian, diskusi,
membaca dan juga beribadah.Walaupun juga tidak rutin tapi satu dua kali saya
aplikasikan. karena saya sadar hanya dengan cara itu saya bisa
membahagiakan orangtuaku.
Setelah saya menyelesaikan pendidikan di Bangku sekolah menengah saya
berinisiatif melanjutkan pendidikan saya di sebuah akademis dimana akademis itu
merupakan sentral ilmu yaitu di UMK, dan Alhamdulillah saya lulus di FKIP
jurusan Bahasa Inggris.Di Akademis inilah saya membuka diri dan mengintropeksi
diri untuk bagaiman saya desain diri saya untuk menjadi manusia yang mengetahui
potensi dirinya dan selalu mengisinya dengan ilmu yang bermanfat demi
terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.Tentunya semua itu
membutuhkan kerja keras kita untuk bagaimana mendahsyatkan diri kita.Maka
solusi satu – satunya saya sebagai manusia haus dengan ilmu adalah saya
berusaha memasuki semua lembaga.Karena saya sadar setiap organisasi itu
mempunya filosofi tersendiri. Dan sekarang saya sudah join di berbagai lembaga,
salah satunya lembaga yang membuka karangka berpikir saya adalah HMI MPO.
PENGANTAR EDITOR
HIPERMAMUTAS: Jalan Panjang Membangun
Indonesia
Saya mencoba membicarakan posisi Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda
Taduasa (HIPERMAMUTAS) dalam sejarah perjalanan kehidupan yang kita lakoni di
Dunia maya ini, nampaknya kita harus solid dan sepakat bahwa HIPERMAMUTAS telah
memberi sebuah warna tersendiri dalam sejarah dan perjalanannya untuk meniti
masyarakat yang Progresif dan Amanah demi terwujudnya tatanan masyarakat yang
diridhoi oleh Allah SWT. Bukan hanya dalam gerakan kemasyarakatan dimana
HIPERMAMUTAS memposisikan gerakannya, namun juga dalam ranah yang lebih luas,
semacam gerakan intelektual, agama, politik, ekonomi dan masih ada berbagai
ranah lainnya yang belum saya sebut yang dilakoni atau diemban oleh kader
bahkan alumni HIPERMAMUTAS sejak dideklarasikannya pada 09 November 2008 di
Batuatas.
HIPERMAMUTAS merupakan sebuah lembaga dimana oknum – oknum yang terlibat
dalam HIPERMAMUTAS real dari masyarakat Taduasa, dan lembaga ini merupakan sebuah lembaga dimana akan selalu
memperhatikan hak – hak masyarakat Batuatas umumnya dan masyarakat taduasa
khusunya. Karena lagi – lagi Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa
merupakan bagian yang utuh dari masyarakat ilmiah untuk meneruskan momentum
pembangunan dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa.Mengingat bahwa Himpunan
Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa merupakan tongkat stafet Pembanguanan untuk
kesejahteraan masyarakat.Tugas suci yang diemban ini merupakan amanat rakyat
supaya dapat terwujud, apabila di dukung oleh mahasiswa sebagai pemikir sebagai
pemikir dengan pengaplikasian kepekaan sosial untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat taduasa.Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa sebagai penerus
cita – cita bangsa pada hakekatnya merupakan jenjang proses pengembangan,
peningkatan dan pemantapan diri yang peka terhadap tantangan kotemporer ini
atau yang akan datang.
Fungsi dan peran Himpunan Pelajar Mahasiswa Pemuda Taduasa dalam
pembanguanan nasional dapat diwujudkan dalam bentuk pengabdian tampa pamrih
sesuai dengan keahlian dan profesinya.
PEMUDA PEMIMPIN
Kaum muda telah terbelenggu politik selama orba bukan hanya menjadi penjara politik yang membuat pemuda tidak bisa berbuat apa - apa, tetapi telah mengerdilkan peran pemuda. Eksistensi pemuda hanya
sebagai pelengkap penderita bagi “Demokrasi Palsu” yang menjadi icon orde baru.
Tumbangnya orde baru menjadi angin segar bagi gerakan demokrasi sesungguhnya,
di mana politik telah menjadi pasar bebas bagi pencari kekuasaan. Meski belum
sepenuhnya bebas dari intervensi khususnya dari pemimpin partai politik.Tidak
heran jika geliat politik pemuda semakin ramai mewarnai wilayah politik saat
arus gerakan demokrasi di era reformasi ini. Sebagian sudah terlibat penuh
dalam “Pertarungan Politik”, baik legislatif maupun eksekutif. Pemuda sekarang
ini tidak lagi menjadi penonton, tetapi pemuda kotemporer ini telah mengambil
alih menjadi aktor berpengaruh, bahkan sebagian sudah terlibat menjadi tim
sukses, konsultan politik, bahkan sebagian sudah berani tampil sebagai kandidat
bupati maupun gubernur meski hanya sedikit yang berhasil.
Jaman sekarang sudah
saatnya kita bangkit dari keterpurukan karena kita sudah merdeka melawan
penjajah atau kaum kapitalis yang mengeksploitasi masyarakat selama berabad-
abad. Oleh karena itu pemuda harus tampil di berbagai tempat, mengisisi peluang-peluang
strategis yang masih tersedia, selama kompetisi itu terbuka secara adil. Pemuda
tentu sudah terbiasa dengan peran-operan strategisnya, sebagaimana yang
ditampilkan saat ini dan di masa lalu, pemuda tidak henti-hentinya mengusung
agenda perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Hanya saja ikhtiar pemuda
belum begitu optimal, karena pemuda hanya diposisikan di luar arena kekuasaan,
belum menjadi pemegang kekuasaan yang tentu lebih muda mengarahka kekuasaan itu
dalam konsep ideal pemuda untuk egenda perubahan bangsa.
Pemuda selalu
dinomorduakan dalam posisi kepemimpinan nasional maupun lokal. Padahal mereka
(kalangan tua) mengakui betul kemampuan pemuda dalam agenda perubahan. Tetapi,
dalam kekuasaan politik ada keengganan untuk menyerahkannya kepada pemuda.
Kekuasaan dianggapnya sebagai implementasi budaya politik keluarga, di mana
orang tua yang selalu berkuasa. Kalangan tua lebih yakin dengan berbagai
pengalamannya dianggap lebih matang menjadi seorang pemimpin.
Statemeant “Pemuda
adalah pemimpin bangsa masa depan”, adalah upaya sakralisasi posisi pemuda itu
sendiri dengan berbagai keistimewaannya. Padahal, kalimat itu bisa menjadi
belenggu kultural yang bisa menghalangi langkah pemuda untuk tampil bersaing
dengan kalangan tua. Pemuda dilegitimasi untuk menjadi pemimpim berikutnya saat
usianya sudah tidak lagi menjadi pemuda. Belum lagi tantangan dan keraguan pada
kepemimpinan datang dari kalangan pemuda itu sendiri.
Di lain pihak,
memang sangat tidak bijaksana kalau kita melakukan dikotomi antara kalangan tua
dan muda dalam perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal oleh karena
berbagai sebab:
1.
Setiap
warga Negara mempunyai
hak untuk menjadi pemimpin, tua
dan muda tidak menjadi persoalan;
2.
Tidak
bisa kita memvonis atau memastikan bahwa kalangan muda
lebih baik, lebih berkualitas dan lebih mampu melakukan perubahan ketimbang
dengan kalangan tua;
3.
Problematikabangsa
saat ini, Bukan semata-mata problems
kepemimpinan tua dan muda, apalagi soal moralitas pemuda atau tua karena susah
untuk menyimpulkannya. Selain karena implementasi pembangunan politik, ekonomi
dan berbagai aspek kehidupan belum sepenuhnya berpihak kepada kepentingan
rakyat dan bangsa, juga karena masih terjadi kesalahan dalam mengelola Negara.
Kita belum bisa
memastikan bahwa kepemimpinan pemuda bisa menjadi solusi yang terbaik untuk
keluar dari berbagai masalah yang kompleks. Karena perbedaan umur tidak akan
bisa menjadi jaminan kualitas dan kuatintas kemampuan seseorang dalam memimpin,
belum bisa dijadikan indikator inovatifnya seorang pemimpin.
Maka dari semua itu,
ada hal – hal yang mengharusan agar kita bisa lebih “legowo” melihat geliat pemuda dalam ranah
politik, dengan berbagai warna-warninya. Idealisme pemuda dengan segenap
harapan-harapan idealnya, tidak sabar melihat kondisi kebangsaan kita yang
belum bisa menyesuaikan
diri untuk bangkit dari
krisis dan keterpurukan. Posisi tawar pemerintah dalam menghadapi Negara yang begitu maju semakin lemah,
dengan lemahnya sehingga tidak
kuasa menolak apalagi melawan intervensi-nya. Pemerintah seakan – akan terhipnotis atas berbagai
tawaran Negara-negara maju, maka dengan model seperti itulah sehingga bangsa Indonesia menjadi seperti Negara boneka, dengan sedkit otoritas. Kita memang mempunyai
sumber daya alam (SDA) yang begitu besar tetapi kita sama sekali tidak bisa mengolahnya sehingga bangsa
lainlah yang ambil alih untuk menguasai sumber daya alam kita yaitu kaum
kapitalis, kita telah dinina bobohkan oleh kaum – kaum kapitalis sehingga tidak
bisa berbuat apa – apa karena kekurangan kita dalam memahami konsep
kepemimpinan pemuda itu.
Sekarang ini korupsi masih
terus eksis di
berbagai tempat, sehingga menyebabkan
kita tidak mampu keluar dari predikat Negara korupsi. Tingkat kepercayan pemuda
sekarang ini termasuk masyarakat pada umumnya mulai menurun pada pemimpin.Walaupun juga bukan krisis kepemimpinan, tetapi ketika kita biarkan maka itu akan bisa menjadi “penyakit kronis” yang akan menurunkan partisipasi
publik. Kemiskinan dan kebodohan akan semakin mengakar di tengah - tengah
masyarakat, dan juga akan diperkuat dengan kondisi pengangguran yang menambah kompleks problem kebangsaan. Kondisi semacam itulah yang akan menyebabkan
lahirnya kegelisaan pemuda dalam
bentuk geliat politik dalam berbagai ranah kehidupan khususnya pada basis
kekuasaan. Pemuda melihat adanya kegagalan yang real
oleh kepemimpinan kaum tua yang mendominasi kekuasaan politik (presiden,
gubernur dan bupati) dari era orde baru sampai reformasi sekarang ini. Pemuda
ingin membuktikan diri, bahwa lebih mampu melakukan perubahan. Walaupun juga masih sebatas semangat dan mimpi indah, karena kenyataannya belum
ada bukti kongkrit untuk itu.
Supaya pemuda
tidakdikatakan bermodalkan semangat dan menawarkan mimpi indah, kita
menginginkan ada sebuah desain dan strategi yang lebih matang dan akurat dalam
memenage rumah besar yang kita cintai ini yaitu Indonesia. Karena memimpin
negeri ini bukan tanpa hambatan, problem yang begitu kompleks, diperkuat dengan
manuver sebagian pemuda yang jauh dari idealisme pemuda pada umumnya. Sebagian
pemuda tidak lagi takut kehilangan idealismenya untuk kepentingan sesaat, di
mana ruang politik menawarkan “surga” yang selama ini dicarinya. Termasuk
pemuda yang selama ini dalam posisi dilematis, karena masih dihadapkan pada
jeratan kemiskinan dan kebodohan yang jumlahnya tidak sedikit.
Pemuda harus bisa
membuktikan kemampuannya, menampilkan semaksimal mungkin daya tawar yang boleh
jadi tidak dimiliki oleh pemimpin kalangan tua. Salain
itu, tawaran konsep untuk bangkit dari krisis menjadi fundamental. Selanjutnya,
manuver pemuda masa kini sudah mulai menata jalan yang lebih baik, jalan baru
yang bisa dilalui bersama. Menjalin hubungan baik dan networking yang lebih
kuat, saling memberdayakan satu sama sama lain tanpa memandang profesi, etnis
dan golongannya. Kalau bukan
sekarang kapan lagi, karena kesempatan pertama itu merupakan kesempatan emas buat kita
karena kesempatan pertama tidak datang keduakalinya tapi datang hanya sekali.
Maka dari itu marilah kita bersama – sama menggunakan waktu kita yang begitu sempit
ini sebelum kita terlambat karena dengan mengefesiensi waktu itulah, apapun
yang kita lakoni akan terwujud dengan baik. Gunakanlah lima perkara sebelum
datang lima perkara. Ini merupakan nasehat
yang sangat baik bagi kaum muda. Sosialisasi dan konsolidasii kepemimpinan kaum
muda sudah harus digelorakan di tengah masyarakat. Sebagai alternatif atas
lambannya agenda perubahan. Sambil membangun komunikasi sefektif mungkin di
kalangan pemuda. Rasa solidaritas dan persatuan terbangun tentu tidak hanya
lahir karena beban dan penderitaan yang sama dalam menghadapi kolonialisme,
tetapi itu juga bisa lahir dari cita-cita dan
harapan yang sama akan negeri yang betul-betul merdeka dari segala bentuk
penindasan dan belenggu penderitaan.
Elit pemuda
sekarang ini
baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif
harus memperlihatkan contoh yang terbaik. Memaksimalkan posisinya untuk
kepentingan publik. Manuver politik yang dimainkan harus betul-betul diarahkan hanya
semata untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Karena sedikit saja kesalahan elit pemuda, bukan hanya merusak perjuangan
pemuda tetapi merusak citra pemuda. Apalagi manuver politiknya terlihat dengan
jelas hanya untuk meraih kekuasaan semata, jangan harap bisa meraih simpatik
dan dukungan dari kaum muda.
PEMUDA DAN AGENDA REFORMASI BANGSA
Pemuda dan agenda reformasi bangsa ini
merupakan sebuah perdebatan panjang ditengah – tengah pemuda karena reformasi
bangsa ini merupakan sebuah representasi pemuda untuk melawan represi
pemerintah yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.Istilah generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi
generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang
membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan
Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah
gejala historis, ideologis, dan juga kultural.
Setiap episode transisi politik, peranutamapemuda “elite” selalu
terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar - mahasiswa,
profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya yang berasal dari
kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati
politik yang tinggi.
Ditinjau dari
konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat
dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara
ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan
ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka
adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan
pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.
Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum
muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca,
atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan
peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya,
kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan
politik negara.
Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda
angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda
angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74,
80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan
korektif. Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di
bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk
dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara
mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih
sebagai “pengritik” negara. Pasca tumbangnya Orde Baru, selain
melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan
mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil
penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam
menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil
mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru. Terhambatnya
regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok
mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf
Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite
Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari
elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur. Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami
booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia
politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik
pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi
kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.
Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis
mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka,
terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di
lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun,
tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami
disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik. Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental
oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru,
yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik
berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite
politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka
“merampas” kedaulatan rakyat).
Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan
bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas
politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang
nepotik, kolutif, dan koruptif. Ketika sikap
pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar,
maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi.
Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi
tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis,
pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?
Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik
“banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua,
memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan
legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong
birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good
corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu
menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara.
Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur
yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi
proses “akumulasi kapital”. Ke depan, kiprah
pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam
kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim
perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite
“penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik
mutakhir di Indonesia.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.
Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.
NASIONALISME KAUM MUDA MASA KINI
Setiap memasuki bulan Oktober, kita akan selalu diingatkan oleh
sebuah peristwa bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa tersebut kita
kenal sebagai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebagai bangsa beradab, tentu kita
tidak ingin momentum bersejarah ini terlewatkan begitu saja. Seharusnya ada
makna yang bisa diambil dari peristiwa besar ini. Salah satu makna paling
menonjol dari peristiwa Sumpah Pemuda ini adalah menguatnya semangat
nasionalisme di kalangan pemuda saat itu. Semangat
nasionalisme telah mengilhami pemuda pada masa itu, hingga mereka mampu menjadi
pilar penting dan berada pada garda terdepan dalam merintis perjuangan
kemerdekan bangsa Indonesia. Menarik untuk mempertanyakan bagaimana pula dengan
semangat nasionalisme dan kepeloporan pemuda hari ini? Pertanyaan ini acap kali
muncul di tengah keprihatinan berbagai kalangan yang mengkhawatirkan semakin
lemahnya eksistensi dan posisi politik pemuda masa kini, terutama dalam
mengemban misi kebangsaan.
Nasionalisme pemuda Nasionalisme merupakan suatu kehendak untuk
bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong kesadaran akan
adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani bersama. Demikian pengertian
yang diberikan oleh Ernest Renan yang sering disebut sebagai bapak
nasionalisme.
Peristiwa kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian kita peringati sebagai Sumpah Pemuda adalah manifestasi tumbuhnya kesadaran nasional (nasionalisme) dalam perjuangan menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda waktu itu. Langkah ini menjadi semacam titik balik dari pola perlawanan sebelumnya yang lebih bersifat lokal. Tidak bisa dipungkiri bahwa tumbuhnya kesadaran tersebut secara nasional tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pemuda pada masa tersebut dengan idealisme dan paradigma barunya. Demikianlah seterusnya, sejarah panjang bangsa ini mencatat konstribusi yang diberikan kaum muda di setiap persimpangan sejarah. Hingga wajar jika banyak pengamat sejarah yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa sesungguhnya adalah sejarah kaum muda. Pemuda hadir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Sekadar menjadi catatan, perjuangan kaum muda di panggung sejarah juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia.
Peristiwa kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian kita peringati sebagai Sumpah Pemuda adalah manifestasi tumbuhnya kesadaran nasional (nasionalisme) dalam perjuangan menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda waktu itu. Langkah ini menjadi semacam titik balik dari pola perlawanan sebelumnya yang lebih bersifat lokal. Tidak bisa dipungkiri bahwa tumbuhnya kesadaran tersebut secara nasional tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pemuda pada masa tersebut dengan idealisme dan paradigma barunya. Demikianlah seterusnya, sejarah panjang bangsa ini mencatat konstribusi yang diberikan kaum muda di setiap persimpangan sejarah. Hingga wajar jika banyak pengamat sejarah yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa sesungguhnya adalah sejarah kaum muda. Pemuda hadir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Sekadar menjadi catatan, perjuangan kaum muda di panggung sejarah juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia.
Sejarah mereka adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Seperti ada
benang merah bahwa gerakan pemuda biasanya lahir dari kondisi yang dihadapi
masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita negara dan harapan
masyarakatnya. Mereka merespons berbagai situasi dan kondisi tersebut atas
dasar kesadaran moral, tanggung jawab intelektual, pengabdian sosial, dan
kepedulian politik. Tidak jarang pula ditemukan bahwa situasi global sering
menjadi faktor yang memicu dan mematangkan kekuatan aksi mereka. Semangat zaman Lantas muncul pertanyaan bagaimana dengan pemuda
masa kini? Bagaimana kita menakar nasionalisme mereka saat ini? Bagaimana pula
kita memaknai peran, posisi dan kontribusi politik generasi yang sekarang ini
lebih dikenal sebagai generasi anak nongkrong itu dalam panggung sejarah
perubahan?
Louis Gottschalk dalam bukunya yang berjudul Mengerti Sejarah,
memperkenalkan istilah zeigest yang biasa diartikan sebagai semangat zaman.
Setiap zaman, diidentifikasi memiliki karakteristiknya sendiri. Ada tiga unsur
yang mempengaruhi karakteristik semangat zaman. Pertama, ia bisa didesain oleh
manusia sebagai pelaku atau tokoh sejarah. Kedua, semangat zamanlah yang
membentuk manusia.
Ketiga, semangat zaman lahir dari sturuktur politik dan kebijakan
negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa yang menempatkan sosok kaum muda
sebagai instrumen perubahan, peran politik kaum muda setidaknya dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu: mainstream isu yang berkembang, kepandaian menerjemahkan
semangat zaman, dan ketepatan merumuskan strategi perjuangannya. Pemuda
Indonesia dalam sejarahan cukup memainkan perannya dalam 'mendesain' setiap
peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor utama
dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa katakan bahwa pemuda
telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan semangat
zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang juga
sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum muda
seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang
memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi perubahan tersebut. Di situlah
letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan pada
berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan,
pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti
isu-isu lingkungan hidup, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu
semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa
bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu.
Setiap perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang
senantiasa menggelora khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta
nurani yang senantiasa berkobar. Jadi bukan munculnya generasi anak nongkrong
yang jadi persoalan. Namun, intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari
generasi muda terus melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan
besar telah terkikis, maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi
dan terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban.
Zaman mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun
mungkin saja berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung
lorong yang gelap jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak
kehilangan sensitivitas dan kepeduliannya. Dua hal ini merupakan substansi dari
nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat minimal guna menakar
nasionalisme kaum muda di setiap zaman.
MORALITAS POLITIK PEMUDA
Saat diminta
“Suara Muhammadiyah” untuk menulis masalah moralitas para elit politik saat
ini, langsung terlintas dalam benak saya; “apalagi yang harus ditulis? apalagi
yang mesti diterangkan? Itu semua sudah amat jelas diterangkan dan tertuliskan
oleh berbagai surat kabar. Ah, barangkali lebih baik jika saya menulis tema
lain yang lebih bermanfaat, itu pun karena waktu yang terbatas, dibantu seorang
sahabat John Muhammad. Misalnya, seputar wacana kepemimpinan kaum muda yang
kini kian sering diperbincangkan sebagai upaya mengubah keadaan politik yang
stagnan karena macetnya regenerasi politik.
Barangkali tema ini akan lebih merefleksikan, memroyeksikan peran pemuda bagi masa depan tanah air sekaligus mematahkan anggapan ahistoris bahwa kaum muda be- lum matang dalam berpolitik. Atau bisa saja tema ini kita sambungkan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja kita peringati kemenangannya. Selanjutnya, kita juga bisa menyeberang ke bagian dunia lain untuk belajar, seperti di Iran sambil mengingat-ingat kembali penggalan sejarah penting seputar revolusi Iran dan bagaimana pemuda di sana memperbaiki tanah airnya. Semua tema seputar pemuda dalam tulisan ini melampaui sekadar muara pewacanaan kepemimpinan kaum muda dalam kerangka kekuasaan politik, melainkan hendak memberi sebuah jendela agar kita, para pemuda, melihat Indonesia jauh ke depan dalam bingkai revolusi moral atau kultural.
Barangkali tema ini akan lebih merefleksikan, memroyeksikan peran pemuda bagi masa depan tanah air sekaligus mematahkan anggapan ahistoris bahwa kaum muda be- lum matang dalam berpolitik. Atau bisa saja tema ini kita sambungkan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja kita peringati kemenangannya. Selanjutnya, kita juga bisa menyeberang ke bagian dunia lain untuk belajar, seperti di Iran sambil mengingat-ingat kembali penggalan sejarah penting seputar revolusi Iran dan bagaimana pemuda di sana memperbaiki tanah airnya. Semua tema seputar pemuda dalam tulisan ini melampaui sekadar muara pewacanaan kepemimpinan kaum muda dalam kerangka kekuasaan politik, melainkan hendak memberi sebuah jendela agar kita, para pemuda, melihat Indonesia jauh ke depan dalam bingkai revolusi moral atau kultural.
Pemuda di Sekitar kemerdekaan
Jakarta, 15
Agustus 1945, sore hari di asrama BAPERPI, Jalan Cikini nomer 71, tampak
sekumpulan pemuda berkumpul di sana. Menunggu dengan cemas dan penuh harap. Tak
lama kemudian datang seorang pemuda, Wikana, si pembawa berita. Chaerul Saleh,
salah seorang pemuda yang menunggu itu lekas menanyakan hasil dan dijawab
dengan emosi oleh Wikana, “Bung Karno menolak, malah kami dimaki-maki. Kita
semua dimaki-maki!”. Belum hilang dengungan suara Wikana, Djohar Noor yang juga
sedari tadi menunggu segera melontarkan kata-kata, “Angkat saja”, sambil
melonjak dari tempat duduknya. Yang lain juga ikut berdiri dan mengemukakan
persetujuannya, “Segera bertindak!” dan keputusan pun ditetapkan: Soekarno dan
Hatta harus diangkat (diculik) dari rumahnya masing-masing.
Demikianlah
kemudian, Soekarno dan Hatta diculik dengan maksud diamankan ke Rengasdengklok,
Jawa Barat pada tanggal 15-16 Agustus 1945. Peristiwa penculikan ini kemudian
sering disebut-sebut orang sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Adapun maksud
utama dari penculikan ini selain untuk mengamankan sekaligus memaksa Soekarno
dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Seperti diceritakan pada awal tulisan ini maka mendekati
proklamasi, suasana perbedaan pendapat tidak terelakkan lagi. Kelompok tua
seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir menginginkan kepastian terlebih dahulu
untuk memroklamirkan kemerdekaan Indonesia, seperti: validitas berita kekalahan
Jepang dengan Sekutu, persiapan konsep kenegaraan yang belum matang dan faktor
keamanan.
Namun, para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Djohar Noor, Wikana, Adam Malik dan lain-lain memiliki perhitungan lain. Mereka menganggap jikalau proklamasi tidak cepat-cepat dilakukan, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, (1) Jepang sebagai pihak yang kalah perang akan menyerahkan seluruh inventaris jajahannya (termasuk Indonesia) pada pihak sekutu dan (2) proklamasi tetap dilangsungkan didasarkan atas “pemberian” izin Jepang ataupun Sekutu, maka menimbulkan kesan hutang-budi atau campur tangan politik lainnya. Begitulah akhirnya Soekarno dan Hatta terpaksa mengikuti kemauan para pemuda-pemuda ini.
Namun, para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Djohar Noor, Wikana, Adam Malik dan lain-lain memiliki perhitungan lain. Mereka menganggap jikalau proklamasi tidak cepat-cepat dilakukan, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, (1) Jepang sebagai pihak yang kalah perang akan menyerahkan seluruh inventaris jajahannya (termasuk Indonesia) pada pihak sekutu dan (2) proklamasi tetap dilangsungkan didasarkan atas “pemberian” izin Jepang ataupun Sekutu, maka menimbulkan kesan hutang-budi atau campur tangan politik lainnya. Begitulah akhirnya Soekarno dan Hatta terpaksa mengikuti kemauan para pemuda-pemuda ini.
Di
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, sebuah proklamasi – sebagai suatu
pernyataan kemerdekaan – sebenarnya sudah dilangsungkan. Saat itu, dengan gaya
khas pemuda, Sukarni, dr. Soetjipto, Singgih dan kawan-kawannya mengadakan
upacara bendera dan pernyataan kemerdekaan (disampaikan oleh H. Affan, seorang
Perwira PETA). Sedangkan para hadirinnya cuma tukang sayur, tukang grabah,
petani, tukang kain, mandor jalan, pegawai, juru tulis, juru telepon dan
semacamnya. Kesederhanaan “proklamasi” ini semakin tampak, tatkala pidato H.
Affan itu disambut riang gembira, joget-joget dan tidak sedikit yang
mengharukan peristiwa ini. Selepas upacara, dengan polosnya, para pemuda ini
menunggu kehadiran “pembesar-pembesar” yang akan menemui Soekarno-Hatta. Bayangan mereka, berita ini segera menyebar dan Soekarno-Hatta
segera menerima kedatangan tamu kenegaraan. Dapat kita duga hasilnya,
pembesar-pembesar itu tidak ada yang datang, yang hadir justru hanya Paduka
Tuan Rengasdengklok-Guncho (Camat Rengasdengklok), itu pun setelah
dipaksa-paksa dan Mr. Soebardjo yang sedang mencari-cari Bung Karno dan Bung
Hatta. Selepas waktu ashar, tidak ada pilihan lagi untuk mengembalikan Bung
Karno dan Bung Hatta ke Jakarta, apalagi telah terjadi kesepakatan untuk
memroklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus (esok harinya). Malam
itu juga hingga pagi harinya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dipersiapkan. Kali ini persiapannya jauh lebih matang. Tokoh-tokoh tua
diikutsertakan dan bekerja sama dengan anak-anak muda tadi. Rapat yang
dilakukan di rumah Laksamana Maeda (sekarang Jalan Imam Bonjol no. 1, Taman
Surapati) berlangsung seru. Perdebatan paling keras adalah mengenai siapa yang
akan menandatangani proklamasi. Kelompok tua menginginkan naskah proklamasi itu
ditandatangani oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memang
sudah dibentuk Pemerintah Jepang) tetapi Soekarni dan kawan-kawan menginginkan agar
ditandatangani pemuda saja. Bung Karno mencoba menengahi dengan memberi usul
agar semua yang hadir saat itu ikut menandatangani semua, tetapi beberapa masih
belum setuju. Atas usulan Chairul Saleh, akhirnya diputuskan bahwa naskah
proklamasi cukup ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil
dari Bangsa Indonesia.
Hikmah Revolusi Iran
Hikmah Revolusi Iran
Ayatullah
Khomeini, dalam Hokumat-i-Islami me-ngatakan “Hanya satu Islam yang benar,
yaitu: yang dibawa Nabi Muhammad saw. Beliau membawa Islam yang revolusioner.
Karenanya, Islam yang benar adalah Islam yang revolusioner.” Ingat Revolusi
Iran berarti ingat Imam Ayatullah Khomeini. Memang, Revolusi yang terjadi di
Iran (1978-1979) itu tak lepas dari peranan manusia bernama lengkap Imam
Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhollah al-Musavi al-Khomeini yang lahir di kota
Khumayn, dekat Isfahan, sekitar 300 kilometer selatan Teheran, pada tanggal 24
September 1902. John L. Esposito menjuluki Ayatullah Khomeini sebagai
“living symbol and architect of Islamic revolution of Iran”. Karena jasanya itu
pulalah beliau diangkat menjadi Rahbar (Pemimpin) Revolusi Islam, sebagaimana
yang tercantum dalam Konstitusi Iran yang disahkan pada Desember 1979. Khomeini
memang pribadi yang kharismatik. Mantan Ketua PP Muhammadiyah DR. HM Amien Rais
(pernah menjadi Ketua MPR RI) berkesempatan melihat rumah Ayatullah yang
sederhana, sewaktu berkunjung ke Teheran, Oktober 1991. Luas Rumah itu tidak
lebih dari 100 meter persegi. Di ruang tamu hanya terdapat sofa tua tempat
Ayatullah menerima para tamu negara. Bahkan, semasa pembuangannya di Prancis
beliau hanya tinggal di sebuah tenda di pinggiran kota Paris. Potret ini amat
kontras dengan potret kehidupan elit-elit politik zaman sekarang di Indonesia.
Gus Dur – KH
Abdurrahman Wahid – yang pernah menjadi Presiden Indonesia pada salah satu
tulisannya pernah menulis bahwa Ayatullah Khomeini adalah tokoh kontroversial.
Beliau dikagumi bak “malaikat” dan sekaligus dibenci bagaikan “setan”. Beliau
memang wajar dibenci oleh Dunia Barat karena dialah, tokoh yang berhasil
“mencampakkan” Amerika dari Iran. Kata William Shawcross, salah seorang
wartawan senior Barat, “Sejak awal 1979, Ayatullah Khomeini selalu merepotkan
Barat yang ia pandang sangat rendah. Bagi banyak warga Barat, ia tampak seperti
musuh yang bengis dan bahkan sinting, simbol yang mengerikan dari angkara murka
dan kebencian yang tidak terduga, tak bisa dimengerti, dan tak terkendali”.
Revolusi Iran
pada tahun-tahun 1978 sampai 1979 memang tidak muncul begitu saja. Revolusi ini
sesungguhnya sudah dimulai sejak 1950-an, oleh DR. Mohammad Mossadeq (pendiri
Front Nasional), kemudian oleh Khomeini sendiri pada “Pemberontakan Juni” di
tahun 1963. Pemberontakan tersebut mengakibatkan diusirnya Khomeini ke Turki
dan kemudian ke Irak pada 1965. Namun, revolusi ini sesungguhnya “embrio” dari
pecahnya Revolusi Islam di Iran pada 1979, seperti halnya Revolusi 1905 yang
menjadi “embrio” Revolusi Bolshevik di Rusia.
Keunikan lain
adalah kenyataan bahwa Revolusi Islam Iran berbeda dengan gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir yang meletakkan titik berat pada tarbiyyah (pendidikan perorangan),
maupun gerakan Jama’ati Islami di Pakistan yang meletakkan titik berat pada
tantangan intelektual. Revolusi Iran juga berbeda dengan Revolusi Prancis
(1789) dan Revolusi Rusia (1917). Revolusi Iran memiliki kekhasan. Revolusi ini
didasarkan pada ideologi keagamaan dan keyakinan-keyakinan islamis serta
tujuan-tujuan hidup Islamis dan Qur’anis, dan didorong oleh alim ulama
(rohaniawan) yang terjun langsung dalam masalah politik, perebutan kekuasaan,
mendirikan negara serta sistem kehidupan Islam (Mahzab Syiah).
Jalannya
Revolusi Islam di Iran dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang pertama adalah
krisis ekonomi, sosial dan budaya akibat kediktatoran monarki rezim yang
dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi. Kedua adalah budaya homogen masyarakat Iran.
Masyarakat Iran memiliki ideologi yang sama, yakni Islam dan mahzab Syiah
memang mendominasi keseluruhan masyarakat di Iran. Mahzab Syiah berkembang di
Iran sudah sangat lama. Menurut S. Hussain M. Jafri, Syiah, selain lahir karena
faktor politis (dalam arti kekuasaan atau kepemimpinan) mengenai pemimpin umat
Islam yang menggantikan Nabi Muhammad SAW, namun Syiah juga dibangun oleh
faktor “kesukuan” dan alasan historis. Masyarakat Syiah di Iran mempercayai
bahwa mereka adalah keturunan Sahabat Ali dan Nabi Muhammad SAW. Ketiga adalah
faktor Ayatullah Khomeini sendiri.
Khomeini secara
cerdas berhasil menyatukan dan meyakinkan persatuan antara penganut Mahzab
Sunni dan Syiah di Iran. Khomeini pulalah yang berhasil merumuskan struktur
kenegaraan “Republik Islam” secara politik dan hukum, hingga permasalahan
sosial lainnya. Keempat, adalah – justeru – faktor peranan Barat serta
kesalahan pemerintah Syah Iran. Mereka tidak pernah menyangka bahwa mengusir
dan membiarkan Ayatullah tinggal di salah satu negara Eropa (Prancis), bukan
saja membuat jaringan komunikasinya semakin meluas namun malah semakin mendapat
simpati serta menambah banyak pengikutnya.
Yang menarik, selama revolusi berlangsung dan direncanakan, Khomeini tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Iran. Bahkan hingga Syah Iran berhasil ditumbangkan (diusir ke Aswan, Mesir pada 16 januari 1979), Khomeini belum juga kembali ke Iran. Persis ramalan Nostradamus, “Di Persi (Iran) akan ada seseorang dari kekuatan luar yang akan menggulingkan kekuasaan di dalam Persi’, begitulah seperti yang kami tonton pada salah satu acara televisi pada suatu kesempatan tentang ramalan-ramalan Nostradamus. Entah suatu kebetulan, namun jelas sekali yang dimaksud dengan “seseorang dari kekuatan luar” adalah Imam Khomeini.
Yang menarik, selama revolusi berlangsung dan direncanakan, Khomeini tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Iran. Bahkan hingga Syah Iran berhasil ditumbangkan (diusir ke Aswan, Mesir pada 16 januari 1979), Khomeini belum juga kembali ke Iran. Persis ramalan Nostradamus, “Di Persi (Iran) akan ada seseorang dari kekuatan luar yang akan menggulingkan kekuasaan di dalam Persi’, begitulah seperti yang kami tonton pada salah satu acara televisi pada suatu kesempatan tentang ramalan-ramalan Nostradamus. Entah suatu kebetulan, namun jelas sekali yang dimaksud dengan “seseorang dari kekuatan luar” adalah Imam Khomeini.
Urgensi
Perubahan Budaya
Jika anda mau
menengok dan membaca kembali keadaan politik tanah air saat ini, kita akan
merasa bahwa cita-cita mengenai Republik Indonesia masih sangat jauh dari harapan
kita saat ini. Akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan awal, yaitu:
pentingnya suatu perubahan dalam pola pikir dan budaya bangsa kita dengan
sesegera mungkin. Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana melakukannya? Kali ini
kami mengajak anda untuk menyimak berbagai model perubahan, berikut dengan
langkah-langkah taktisnya. Yang kami tawarkan pada anda saat ini adalah
revolusi dan perlawanan. Namun, sekali lagi, langkah-langkah tersebut bukanlah
satu urutan atau order (perintah) untuk dilaksanakan, melainkan hanyalah
referensi kita saja, kemudian andalah yang menentukan, mau dimodifikasi,
dievaluasi atau langsung dipraktekkan, kesemuanya terserah anda.
Revolusi dalam
Reformasi memunculkan banyak pertanyaan. Kita tidak akan masuk dalam perdebatan
benar atau salah dari strategi perubahan (reformasi) kita ini. Tapi kita
justeru mengambil kesimpulan lain, yaitu bahwa ide revolusi atau perubahan
secara cepat ternyata lebih fleksibel karena memang variabel penentu dari
revolusi adalah waktu. Sehingga apapun prosesnya, transformasi atau reformasi
kita ini, selama berjalan dalam waktu yang cepat dapat saja kita katakan
revolusi.
Orang Inggris
di abad tujuh belasan, pada saat mesin uap ditemukan dan industri maju pesat,
tidak mengatakan perubahan itu sebagai revolusi, tetapi setelah mengetahui
bahwa perubahan tersebut berjalan sangat cepat (menurut ukuran mereka) baru
mereka sadar bahwa mereka telah melakukan revolusi. Begitu pula dengan
protes-protes masyarakat Amerika Serikat dan Barat umumnya mengenai kebebasan
seks (dalam tuntutan liberalisasinya), mereka menjalani perubahan dengan
biasanya saja dan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu revolusi. Seperti mereka, kita tidak akan menyadari bahwa gerakan reformasi
ini berjalan cepat atau lambat (apalagi hal ini masih perdebatan). Namun,
tatkala (mungkin) nanti kita semua merasakan perubahan berjalan cepat maka
serta merta orang akan mengatakan, “Wah, ini sih, revolusi damai”. Oleh karena
itu, kita meletakkan kata “revolusi” pada perubahan pemikiran kita dengan
harapan perubahan tersebut berjalan cepat dan yang terpenting memacu akselerasi
gerakan reformasi. Pengertian gampangnya, gerakan “revolusi budaya” merupakan
bagian dari gerakan reformasi secara keseluruhan atau di dalam reformasi ada
revolusi budaya. Selain harapan mempercepat reformasi maka istilah “revolusi
budaya” dalam konteks istilah revolusi lainnya, seperti “revolusi fisik”,
“revolusi rakyat” atau “revolusi kemerdekaan” mungkin jauh lebih diinsyafi
karena tidak mengandung makna destruktif (merusak), layaknya abad pencerahan
(renaissans) di Eropa maka “revolusi budaya” lebih dekat pada makna saving
(menyelamatkan).
Sebenarnya
perubahan budaya berlangsung terus menerus dan secara korektif diperbaiki oleh
manusia. Masih ingat cerita Qabil, anak Adam yang membunuh saudaranya sendiri?
Cerita itu menggambarkan betapa bodohnya manusia sehingga untuk menguburkan
mayat saja harus meniru binatang. Namun, proses perubahan budaya tersebut
memiliki percepatan yang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Nah,
perubahan budaya yang dicatat sejarah sebagai perubahan yang berlangsung secara
revolusioner adalah:
Perubahan dan
perkembangan budaya masyarakat di Jazirah Arab pada abad ke tujuh, bersamaan
dengan masuknya agama Islam. Sebelum Islam masuk, dibanding bangsa lainnya,
Arab adalah bangsa yang sangat terbelakang bahkan bukan secara intelektual
saja, namun budaya membunuh, perbudakan dan lain-lain sangatlah lazim disana.
Namun, hadirnya Islam dengan Muhammad SAW sebagai pimpinannya, mulai merubah
tradisi bangsa tesebut. Thomas Carlyle, dalam tulisannya: The Hero as The
Prophet, mengungkapkan bagaimana dalam tempo satu abad saja telah mengubah
masyarakat di Timur belahan dunia yang bodoh-bodoh itu tumbuh dan melahirkan
manusia-manusia super. Ibnu Khaldun (sosial), Ibnu Syna (kedokteran), Ibnu
Rusyd (pemerintahan dan hukum), Ibnu Taimiyah (politik) atau Al Jabar
(matematika) adalah sebagian kecil dari keberhasilan revolusi pemikiran di
Arab.
Perubahan dan
perkembangan budaya masyarakat di Eropa pada abad pertengahan, yang dikenal
dengan masa renaissance atau pencerahan. Memang, perubahan ini tidak lepas dari
perkembangan di jazirah Arab tadi. Melalui Perang Salib-lah terjadi transfer of
knowledge (pertukaran ilmu pengetahuan) antara bangsa Timur dan Barat terjadi.
Redupnya aktivitas berpikir bangsa Arab akibat pertikaian diantara mereka
sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Eropa untuk mempelajari
karya-karya bangsa Arab tersebut. Leonardo da Vinci, Michelangelo, Donatello
dan kawan-kawannya merupakan manusia-manusia yang serba bisa dan mempelajari
banyak hal dari mulai seni, teknik sampai sosial-politik. Macchiavelli adalah
salah satu pelopor strategi dan taktik politik modern.
Revolusi
Industri di Inggris yang ditandai dan diawali dengan penemuan mesin uap oleh
James Watt. Kemudian diikuti dengan berbagai penemuan teknologi mulai dari
mobil, pesawat terbang hingga atom. Revolusi Industri sangat mempengaruhi
kebudayaan dan pola pikir. Mesin yang menggantikan peranan manusia akhirnya melahirkan
paham Materialisme yang dikembangkan oleh Hegel, Marx dan Engels. Pemikiran ini
akhirnya berkembang menjadi dua cabang pemikiran, yaitu Kapitalisme dan
Komunisme. Walaupun begitu dalam kedua perbedaan ini, muncul pemikiran lainnya
di dunia pemerintahan, yaitu: demokrasi.
Demokratisasi
di abad pertengahan dan akhir keduapuluh ini, termasuk di dalamnya revolusi
anti-komunis di Eropa Timur (1989) dan gerakan bunga di Amerika Serikat (1969).
Demokrasi berkembang pesat, tuntutan rakyat akan hak-hak pribadi dan
kolektifnya semakin tidak dapat dibendung lagi. Amerika Serikat dan Eropa
memulainya dengan Liberalisme (kebebasan) sedang yang lainnya dengan
Otoriterianisme (pengekangan). Mulanya, otoriterianisme runtuh terlebih dahulu
(Soviet, Polandia, Rumania dan negara Eropa Timur lainnya) dan memodifikasi
diri dengan cara mengadopsi demokrasi disana-sini. Sampai saat ini Liberalisme
masih menjadi wacana utama dalam penuntutan hak-hak manusia, namun belajar dari
Amerika Serikat, ternyata semakin lama mereka pun muak dengan kebebasan murni
yang mereka miliki selama ini. Mereka membebaskan berbagai hal seperti seks,
senjata atau pasar bebas. Tetapi saat ini mereka sadar dan mulai mengontrol
kebebasan itu seperti pornografi ditentang (banyaknya kasus pemerkosaan dan
pelecehan seksual), kepemilikan senjata mulai diatur (pembunuhan berantai oleh
siswa-siswa dan UU Monopoli diperketat (kasus Microsoft, misalnya). Bahkan,
untuk melawan rasisme, mereka juga melakukan terobosan, yaitu dengan
memperkenalkan UU anti-diskriminatif, dimana menggilirkan posisi struktural
dalam suatu lingkungan antara minoritas dan mayoritas dengan jangka waktu
tertentu. Misalnya, dalam suatu perusahaan yang struktur kepemimpinannya
didominasi oleh orang kulit puitih maka dalam jangka waktu tertentu perusahaan
tersebut harus memberikan kesempatan pada kelompok minoritasnya untuk menduduki
posisi strukturalnya tersebut. Ada banyak contoh lain yang mungkin tak cukup
untuk dilukiskan dalam tulisan singkat ini.
Uraian di atas
mudah-mudahan menambah semangat kita sebagai pemuda, memperbaiki budaya yang
meliputi seluruh aspek sosial. Belajar dari pengalaman yang bukan sekadar
memberi inspirasi untuk mengubah zaman yang lebih adil dan damai, juga
menegaskan bahwa cita-cita itu tak bisa otomatis terwujud hanya lewat revolusi
politik, pergantian struktur kekuasaan politik. Melainkan juga mensyaratkan
revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi, moda produksi, serta
relasi sosial orang miskin dengan orang kaya, buruh dengan perusahaan, petani
dengan pemilik modal dan seterusnya, bahkan lebih jauh dari itu diperlukan
sebuah kesungguhan untuk mewujudkan sebuah revolusi kultural di mana setiap
orang memiliki kesadaran politik dan rasa solidaritas sosial. Ke arah itulah cita-cita kaum muda menuju.
GRAMATIKA POLITIK PEMUDA
Telah menjadi
hukum sejarah, bahwa setiap angkatan muda hidup dalam era dan zamannya
masing-masing, termasuk angkatan muda di indonesia. ini tidak berarti bahwa ada
penggalan-penggalan fase sejarah yang terpisah pada setiap generasi, melainkan
bahwa setiap generasi mempunyai problem kesejarahannya masing-masing yang harus
dipertanggungjawabkan demi kontinuitas sejarah kemanusiaan. karena
perbedaan problem zaman yang dihadapi oleh setiap generasi, mengakibatkan
munculnya solusi problem yang juga berbeda-beda. solusi yang ditawarkan oleh
setiap generasi atas zamannya masing-masing diejawantahkan dalam bangunan
gramatika politik yang khas. begitupun dengan beberapa lapis generasi manusia
indonesia sampai pada hari ini, telah melahirkan berbagai gramatika politiknya
masing-masing. tentu kita mengenal periodisasi angkatan muda indonesia,
beberapa generasi telah berhasil membangun gramatika politiknya sendiri, tapi
tidak sedikit juga yang sesungguhnya hanya melanjutkan gramatika politik
generasi sebelumnya, atau bahkan hanya melaksanakan gramatika politik yang
diproduksi oleh kelompok lain. yang paling fenomenal dari beberapa periode
angkatan muda indonesia adalah angkatan 28 dengan sumpah pemudanya dan angkatan
45 yang mengantarkan indonesia ke pintu kemerdekaan. sumpah pemuda sudah
berusia 77 tahun, sebuah usia yang demikian panjang untuk sebuah gramatika
politik yang dicetuskan oleh kaum muda. sumpah pemuda dapat dikatakan berhasil,
karena semua gerakan aksi dan aktivitas dari generasi pemuda setelahnya,
hanyalah merupakan kelanjutan atau reaktualisasi dari gramatika politik ini,
meskipun dengan cara yang berbeda. kenyataan ini melanda baik angkatan ’45, angkatan
’66 maupun angkatan ’98. Gramatika politik baru memang
tidak ada yang salah dalam gramatika politik angkatan ’28 ini, sebagai produk
dari sebuah generasi, sumpah pemuda sangat berhasil menjalankan fungsi pada
zamannya. namun kita harus realistis bahwa era dan zaman yang dihadapi oleh
setiap generasi memiliki problem yang berbeda. sehingga sangat mendesak untuk
kembali dilakukannya perumusan gramatika politik baru bagi kaum muda.
dalam realitas, kita dapat menyaksikan bagaimana gerakan kaum muda hari ini belum menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi perbaikan bangsa dan negara. ini diakibatkan karena kaum muda terjebak pada gramatika politik yang diproduksi oleh kaum tua yang sampai hari ini masih bercokol disemua level kehidupan politik kenegaraan kita, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
dalam realitas, kita dapat menyaksikan bagaimana gerakan kaum muda hari ini belum menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi perbaikan bangsa dan negara. ini diakibatkan karena kaum muda terjebak pada gramatika politik yang diproduksi oleh kaum tua yang sampai hari ini masih bercokol disemua level kehidupan politik kenegaraan kita, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Gramatika politik
kaum tua menjebak gerakan kaum muda hanya berkutat pada persoalan-persoalan
artifisial kebangsaan, seperti isu bbm, penyaluran dana kompensasi serta
kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif. sudah saatnya pemuda kembali
melakukan konsolidasi menyeluruh untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya
yang signifikan dalam percaturan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. pilihan
untuk merumuskan kembali gramatika politik kaum muda dilakukan setelah melihat
bahwa efektifitas gerakan angkatan muda sebelumnya bisa berhasil karena
ditopang oleh gramatika politiknya. gramatika politik bermain di wilayah
bahasa, sementara itu, bahasa sebagai praktik material dibentuk sedemikian rupa
oleh jalinan kondisi dan pengalaman sosial kompleks yang melingkupinya
(ashcroft, dkk 1989). jadi gerakan muda akan mampu menjawab tantangan zamannya
jika memiliki sebuah rumusan gramatika politik yang mumpuni. dengan
gramatika politik baru, kaum muda hari ini bisa menunjukkan eksistensinya dan
akan mampu mengambil alih wilayah sentrum bahasa dari kamu tua dengan gramatika
politiknya sendiri dan mengisinya dengan bahasa baru yang sepenuhnya sudah
disesuaikan dengan konteks era dan zaman serta problem yang dihadapi. dengan
adanya gramatika politik yang baru, kaum muda akan mampu menjadi kekuatan untuk
membangun wacana tanding atas hegemoni kaum tua.
Setidaknya,
gramatika politik baru bekerja di tiga lapis wacana (discourse) yaitu, pertama,
wilayah wacana (field of discourse) dimana titik tekan gramatika politik
difokuskan untuk menggeser tema. tema wacana politik selama ini masih tetap
dikendalikan oleh kaum muda dan menggiring gerakan muda untuk hanya ikut
bermain dalam tema wacana politik yang telah mereka produksi. generasi muda
hanya menjadi konsumen dan tidak mampu melepaskan diri karena warna patronase
politik yang masih kental dalam realitas perpolitikan indonesia. gerakan kaum
muda indonesia belum pernah menjangkau wilayah paradigmatik tapi hanya pada
wilayah pragmatik. kedua, mode
wacana (mode of discourse). dalam lapisan ini, gramatika politik baru kaum muda
harus diterjemahkan pada tataran kata-kata. dalam lapisan inipun dominasi kaum
tua masih sangat kuat, terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam dunia
politik, belum ada yang baru, semua berkutat pada terminologi yang itu-itu
saja. sebagai contoh, pada hari ini, mode wacana kaum muda dijebak untuk hanya
mengucap isu korupsi, kolusi dan nepotisme.
ketiga, lapisan
ini mempersoalkan tentang penyampai wacana (tenor of discourse), titik tekannya
pada persoalan otoritas. maksudnya bahwa gramatika politik kaum muda harus bisa
menjadi pencerminan otoritas kaum muda dalam membangun wilayah wacana (field of
discourse) dan memproduksi mode wacana (mode of discourse). dalam realitasnya,
gerakan kaum muda belum berhasil muncul sebagai otoritas politik yang mandiri.
sebenarnya
kondisi ketidakmampuan generasi muda memproduksi gramatologi politik baru
menunjukkan sebuah proses kolonisasi kesadaran oleh kaum tua terhadap gerakan
kaum muda. setelah demikian lama, sudah selayaknya gerakan kaum muda tidak lagi
ditunggangi oleh kekuatan tua. kaum muda harus muncul sebagai kekuatan
pembaharu yang diharapkan mengantar bangsa ini pada tata hidup yang lebih
beradab dengan gramatika politik baru.
inilah yang
beberapa puluh tahun yang lalu menjadi harapan mulia dari muhammad hatta,
lahirnya “generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan
diri dari kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan
kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoritis bagi aksi-aksi kolektif”. hatta
menanti lahirnya angkatan muda seperti ini, apakah sekarang adalah saat yang
tepat? jawabnya kembali pada kita semua para generasi muda.
PEMUDA DAN MASALAH KEBANGSAAN
Menteri
Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, awal Juni lalu
menyatakan bahwa mayoritas pemuda Indonesia hidup miskin dengan tingkat
pendidikan dan ketrampilan yang rendah. Kini, pemuda Indonesia berada dalam
lingkaran penyakit sosial akibat kurangnya pemberdayaan, pengembangan dan
perlindungan.
Berdasarkan
proyeksi data single years Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, potensi pemuda
Indonesia sangat besar jika dilihat dari jumlah pemuda (sebanyak 62.985.401
jiwa) atau 29,5 persen dari total penduduk Indonesia, yakni 213,287 juta jiwa.
Data ini tentu sudah mengalami perubahan karena sensus penduduk 2010 mencatat
total penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa. Namun demikian, realitasnya,
potensi besar pemuda Indonesia tidak cukup berdaya oleh karena tidak adanya
terobosan politik strategis pemerintah yang memungkinkan terbukanya proses
pemberdayaan.
Kini,
realitasnya, pengangguran di kalangan pemuda dalam kategori usia produktif
(usia 16-30 tahun) yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak mempunyai
pekerjaan, relatif sangat tinggi. Menurut BPS Indonesia tercatat tidak kurang
dari 7,4 juta pemuda termasuk dalam kategori usia produktif yang mengganggur.
Dilihat
dari sudut latar belakang pendidikannya, sekitar 27,09 persen di antara mereka
berpendidikan SD ke bawah, 22,62 persen berpendidikan menengah pertama (SLTP),
25,29 persen berpendidikan menengah atas (SMA), dan 15,37 persen berpendidikan
SMK. Dari sudut letak geografis, penyebaran pemuda sebanyak 5,24 juta orang (53
persen) berada di perkotaan dan 4,2 juta orang di pedesaan.
Inilah
problematika kehidupan berbangsa dan bernegara yang teramat kita rasakan selama
ini. Memang, kini telah ada UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang kepemudaan yang
menjadi landasan untuk melakukan pembangunan kepemudaan. Namun, undang-undang
ini belum berfungsi efektif dalam upaya memberdayakan mereka. Ironis,
pemerintah terlihat kurang apresiatif untuk mendorong peran aktif kaum pemuda
dalam proses-proses pembangunan di negeri ini. Padahal,
sebagaimana kita ketahui, dalam sejarah negara-negara besar di dunia, tidak
terkecuali negeri ini, pemuda memiliki peranan yang sangat penting dalam
pembangunan nasional. Mereka berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol
sosial dan agen perubahan (moral porce and social change) dalam segala aspek
pembangunan nasional.
Dalam
sejarah kemerdekaan negeri ini, pemuda menjadi motor penggeraknya. Ikrar
sejumlah pemuda pada 28 Oktober yang kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda
adalah tonggak sejarah kebangkitan bangsa. Ironisnya, era kebangkitan itu kini
tampak dilihat sebelah mata. Potensi besar mereka kurang terakomudatif dalam
berbagai dimensi pembangunan bangsa dan negara.
Faktanya,
dewasa ini jumlah pengangguran kaum terdidik menunjukkan tren peningkatan. Hal
ini menunjukkan pula tidak berjalannya reformasi dunia pendidikan kita di satu
sisi dan ketidakmampuan pemerintah dalam memberdayakan kaum pemuda pada sisi
lainnya. Yang pasti, secara substansial, ini menunjukkan lemahnya menajemen
pembangunan perekonomian nasional, sehingga pemerintah tidak mampu membuka
lapangan pekerjaan baru bagi lulusan perguruan tinggi. Fenomena ini sangat
meresahkan karena kaum terdidik atau kaum pemuda kita adalah aset sumber daya
pembangunan nasional.
Selama
kuran waktu 1998 hingga Februari 2007 saja, jumlah pengangguran kaum terdidik
mengalami peningkatan yang amat drastis, dari 400.000 menjadi 700.000 orang
(75%). Belum lagi kalau kita lihat data lulusan Sekolah Menengah Pertama dan
Menengah Atas (SMP-SMA) yang tidak sedikit di antara mereka langsung menjadi
pengangguran terbuka, pastilah sangat menyedihkan.
Ada tiga
indikator fundamental mengapa kecenderungan kaum terdidik menjadi pengangguran
setelah menyelesaikan studinya, baik di perguruan tinggi maupun di SMP dan SMA.
Pertama, lemahnya konseptualisasi kurikulum nasional. Konseptualisasi
pendidikan kita selama ini masih lebih menekankan pada aspek hafalan
(memorize).
Implikasinya,
keberhasilan pendidikan anak didik lebih banyak diukur dengan angka-angka
seperti dalam terminologi ujian nasional. Meskipun aspek memorize ini penting
tetapi tanpa diikuti dengan kemampuan analisis (analysis skill), proses
pembelajaran akan kehilangan nilai substansialnya. Yaitu, kemampuan berpikir
kreatif untuk membangun pradigma ilmu pengetahuan baru yang bisa melahirkan
kreativitas dan etos kerja.
Kedua,
terkait dengan itu, konsepsi pendidikan nasional belum diarahkan pada satu
indikator inventabilitas. Yaitu, kemampuan untuk menghubungkan satu pengetahuan
dengan pengetahuan lain atau berbagai fenomena aktual yang mendorong lahirnya
ilmu pengetahuan baru sebagai dasar kreativitas. Karena itu, proses pendidikan
selama ini hanya melahirkan kaum terdidik, bukan melahirkan intelektual yang
secara linguistik dan terminologis memiliki diferensiasi makna dan peran
sosiologisnya.
Kaum
terdidik menunjukkan makna seseorang atau komunitas yang pernah belajar dalam
dunia pendidikan, baik secara formal maupun non formal. Sementara kaum
intelektual lebih dipahami sebagai man of ideas, kelompok pemikir yang
mempunyai horizon keilmuan luas, komitmen pada moral dan kepedulian sosial
tinggi.
Seperti
penjelasan Edward A Shils dalam "International Ensyclopedia of The Social
Sciences", kaum intelektual memiliki fungsi sebagai agent of social change
and moral force. Mereka memiliki kemampuan analisis (analysis skill), etos
kerja tinggi dan kreativitas sehingga jarang yang menjadi pengangguran.
Pertanyaannya,
mengapa dunia pendidikan di negeri ini tidak mampu melahirkan kaum intelektual?
Kondisi ini menuntut perlunya kajian secara mendalam guna membangun tesis baru
konseptualisasi pendidikan nasional yang mencerahkan, baik menyangkut soal
standar isi maupun kompetensinya, yang memungkinkan lahirnya generasi yang
berkualitas korelasinya dengan upaya untuk membangun bangsa dan negara yang
lebih baik di masa depan.
Ketiga,
secara faktual haruslah diakui pemerintah selama ini tidak memiliki kemampuan
untuk membangun perekonomian nasional yang kuat, terbukti dengan tidak
tersedianya lapangan pekerjaan bagi mereka yang baru lulus dari perguruan
tinggi maupun sekolah menengah yang secara teoritis pertumbuhan perekonomian akan
menyerap tenaga kerja baru.
Inilah
sejatinya problematika besar kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Yaitu,
kurang berpihaknya para pemimpin bangsa, khususnya ekskutif atau pemerintah
yang kurang menempatkan pemuda sebagai aset masa depan bangsa yang harus
diberdayakan. Faktanya, setengah abad lebih negeri ini merdeka, tetapi proses
pengelolaan sumber-sumber perekonomian nasional yang sangat potensial untuk
menunjang kemajuan nasional kita justru diberikan kepada para kapitalis asing.
RADIKALISME AGAMA DAN PROBLEM KEBANGSAAN
Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa
ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang
modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas
ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi
struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern
lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan
konstruksi negara-bangsa modern.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan
kultur masyarakat merespons nilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung
gelombang modernitas ini. Tidak
seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar,
tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara
absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di
Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap
kolonialisme Eropa.
Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis
sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami
ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di
samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi
negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah
mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat
perkembangan kesadaran kebangsaan.
Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di
negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus.
Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri
berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya
basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam
masyarakat.
Krisis negara-bangsa umumnya dipicu oleh fakta
bahwa ia lebih berperan sebagai “Republic of Fear“, meminjam istilah
Samir al-Khalil, yang melakukan pemaksaan dan penyeragaman seluruh entitas
etnis dan budaya lokal dalam entitas lain yang bernama “identitas nasional”,
hal mana telah mengakibatkan legitimasi negara-bangsa begitu lemah.
Demikian juga kenyataan sosial yang sangat
plural dan tanpa kesadaran berdemokrasi telah menciptakan persaingan
antar-etnis, dan sektarianisme yang tak terelakkan untuk memperebutkan akses
politik dan ekonomi. Celakanya, civil society sebagai komunitas
politik di mana masyarakat membagi norma-norma dan nilai-nilai guna membangun
konsensus bersama atas dasar kemajemukan, kebebasan, dan kesetaraan, ternyata
demikian rapuh.
Konsekuensinya, ketidakmampuan negara-bangsa
menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratis dan menyelesaikan krisis
ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkan frustrasi masyarakat.
Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakan fundamentalisme agama yang
lebih bersifat ideologis dan politis untuk mendelegitimasi negara-bangsa dan
menggantikan tatanan maupun nilai-nilai demokrasi “sekuler”, yang dianggap
sebagai biang berbagai krisis tersebut, dengan tatanan Islam. (Bassam Tibi,
1998)
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat
diperbincangkan akhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah “laskar”
atau organisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror,
eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor-faktor tersebut di atas: krisis
kebangsaan dan minimnya basis kultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan
kenyataan bahwa kesadaran nasional mengenai “Indonesia” lebih dominan dibangun
oleh perekat politik ketimbang perekat budaya. Negara (state)
dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom “identias nasional”
tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai
kebangsaannya.
Pola penyeragaman demikian itu, khususnya pada
masa pemerintahan Orde Baru, telah mengebiri dan memandulkan proses kreativitas
dan emansipasi kesadaran masyarakat. Lalu, ketika keran kebebasan dan
demokratisasi terbuka lebar, tuntutan akan pemberdayaan dan partisipasi politik
rakyat makin membesar, dan seiring dengan itu muncul pula gerakan penegasan
identitas komunal masyarakat, seperti etnisitas, budaya lokal, dan terutama
gerakan fundamentalisme agama.
Meski demikian, ketidakadilan sosial dan krisis
negara-bangsa ini bukanlah faktor tunggal suburnya gerakan-gerakan radikalisme
agama. Ada faktor terpenting yang tidak bisa diabaikan, sebagaimana diutarakan
Ketua PBNU, Hasyim Muzadi, beberapa hari lalu (Kompas, 3/11/2002), yaitu penerapan
ajaran-ajaran agama yang mengabaikan aspek sosio-kultural masyarakat
setempat.
Penolakan total terhadap tradisi lokal,
sekaligus pada perkembangan modernitas dengan tanpa mengadaptasikan ajaran
agama dengan kebutuhan sejarah dan konteks sosial, pada akhirnya melahirkan
sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalam beragama.
Dalam perspektif historis, radikalisme agama di
Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam
menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan
kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang
menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara
ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari
ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik,
dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa
pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001)
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus
transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses “reproduksi” Islam
radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema
ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang “lebih vulgar”, yang
memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan
menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa
partai-partai politik Islam di Tanah Air.(Lihat penelitian Khamami Zada, Islam
Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia,
2002)
Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan
Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan
kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam
kehidupan politik.
Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan
yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan,
kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren
dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas
dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan
perundang-undangan negara.
Demikianlah, sesungguhnya banyak faktor dan
penyebab yang memungkinkan suburnya gerakan radikalisme agama di Tanah Air.
Pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis, dan miskinnya kesadaran
sejarah dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah mewariskan sikap-sikap
yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perkembangan global.
Di sisi lain, ketidakpuasan terhadap kebijakan
politik negara-bangsa modern yang dominatif dan manipulatif, berikut krisis
yang diakibatkannya, telah menjadi tempat persemaian paling strategis bagi
gerakan ini.
Akhirnya, dengan memahami kompleksitas masalah
yang melatarbelakanginya, kita sangat berharap gerakan radikalisme agama dapat
diatasi secara tegas dan komprehensif tanpa mengorbankan proses demokratisasi
yang kini tengah berlangsung di depan mata.
RAMADHAN DAN IDENTITAS MASYARAKAT BERPERADABAN
BULAN
Ramadhan sesungguhnya layak disebut bulan ilmu sekaligus bulan peradaban dalam
tradisi Islam. Bulan ilmu, sebab di bulan suci ini Allah SWT untuk pertama kali
menyeru manusia untuk ‘membaca’ (iqra’) melalui ayat pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bulan peradaban, sebab peradaban Islam itu
terbentuk dari sebuah tradisi ilmu yang dilakukan oleh individu-individu yang
bersih hatinya. Ramadlan merupakan ‘madrasah’ untuk membersihkan hati manusia
dan membakar (ramadl) kotoran dosa.
Masyarakat
berperadaban itu dibentuk dari individu beradab (insan adabi). Ia digerakkan
secara dinamis oleh tradisi ilmu. Di zaman Rasulullah SAW, dinamika dan
pergerakan tradisi ilmu lebih marak pada setiap bulan suci Ramadlan.
Teladan Ahlu Suffah
Dinamika komunitas
para pengkaji ilmu itu dimotori oleh sahabat-sahabat kenamaan yang biasa
dikenal dengan ashabu al-suffah. Seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari,
Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Para sahabat yang biasa tinggal di
teras masji Nabawiy ini pada bulan Ramadlan lebih banyak mengkaji kandungan
ayat-ayat al-Qur’an. Mendiskusikan makna-maknanya sekaligus menghafal ayat dan
tafsirannya.
Komunitas ahlu
suffah tersebut ternyata memberi kontribusi besar dalam membentuk
masyarakat madani di Madinah. Kelompok sahabat yang berasal dari sahabat
muhajirin yang berjumlah 70 orang (sebagaian riwayat menyebut berjumlah 51
orang) mengabdikan diri khusus untuk mengkaji ilmu dan ibadah. Di antara mereka
kemudian menjadi ilmuan-ilmuan yang menyokong berdirinya masyarakat Islami (al-mujtama’
al-Islamiy) yaitu masyarakat bertamaddun. Di antaranya adalah Abu
Hurairah, Khudzaifan bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain (Al-Mujtama’
al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah, hal. 96).
Dr. Ikram
Dliya’ dalam Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah mengatakan para
ahlu suffah tersebut adalah orang-orang zuhud, sederhana, tapi tekun mengkaji
ilmu dan memiliki semangat yang tinggi dalam jihad. Digambarkan, bahwa mereka
tidak berlebih-lebihan dalam makan, dan hatinya dikonsentrasikan secara penuh
untuk ibadah, ilmu dan jihad. Mereka penghafal hadis yang baik, selalu
mendiskusikan persoalan-persoalan ilmu kepada Rasulullah SAW dan sahabat
lainnya.
Dalam
konteks bulan Ramadlan ada beberapa hal yang patut dicontoh dari para sahabat
ahlu suffah tersebut. Yakni, kekuatan menahan dorongan nafsu, tradisi ilmu, dan
ketangguhan mereka dalam upaya mengubah masyarakat menjadi masyarakat beradab.
Para ahlu
suffah merupakan contoh karakter manusia-manusia yang siap menjadi ilmuan
muslim yang tangguh. Yaitu, mereka tidak berlebih-lebihan dalam hidupnya. Makan
secukupnya, hati ditata menjadi bersih. Dalam kehidupan mereka, seakan-akan
setiap harinya itu adalah Ramadlan. Mereka begitu kuat menahand dorongan nafsu.
Baik nafsu makan, atau pun nafsu yang merusakkan hati.
Karakter
inilah yang siap dalam mendalami ilmu. Yakni jiwa yang bersih dan khudu’ pada
Tuhan. Imam al-Zarnuji dalam mengatakan “penyebab lupa adalah perbuatan maksiat
dan banyak dosa”. Sedangkan lupa adalah tanda pudarnya ilmu.
Keseriusan
mereka dalam menuntut ilmu pada akhirnya menjadikan beberapa di antaranya
menjadi pakar. Sehingga mereka menyumbang dalam upaya membangun masyarakat
Islami yang beradab di madinah.
Masyarakat Beradab
Maka, sebuah
peradaban dengan tata sosial yang madani perlu dipersiapkan individu-individu
ideal dengan mengaca pada tradisi yang pernah dilakukan oleh ahl al-suffah.
Bagi mereka, semangat Ramadlan itu tidak harus menunggu setahun sekali. Akan
tetapi Ramadlan bagi mereka adalah setiap hari. Semangat yang ditunjukkan
adalah semangat mengembangkan tradisi ilmu, mengidentifikasi problema
masyarakat, menahan nafsu, dan menjaga hati untuk selalu ingat pada-Nya.
Seperti yang
dipahami oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, insan adabi adalah individu yang
sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri,
Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Artinya ia menjadi
sholih secara individual maupun secara sosial. Seorang muslim yang baik, tegas
al-Attas, yaitu seorang yang harus dapat melaksanakan tanggung jawabnya kepada
keluarga dan masyarakat.
Tanggung
jawab itu meliputi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab primordial. Yaitu
dapat dilakukan dengan memenuhi apa saja yang dibutuhkan, baik kebutuhan materi
maupun kebutuhan ruhani. Menjaga kebutuhan sehari-hari juga menjag mereka dari
api neraka. Amar ma’ruf nahi munkar adalah konsep yang sengaja dipersiapkan
untuk menjaga tata sosial masyarakat itu berjalan sesuai aturannya.
Makanya di
bulan Ramadlan itu seorang muslim diwajibkan mengeluarkan zakat. Ini merupakan
manfestasi dari pembelajaran akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Di samping mereka diajarkan untuk memberi asupan ruhani dan pembelajaran ilmu
kepada orang disekitarnya. Maka, tiap individu diajarkan dasar-dasar akidah
sekaligus tanggung jawab sosialnya.
Sehingga,
dalam tata sosial masyarakat Islam, tiap individu muslim harus memiliki
karakter teologis yang kuat. Menurut teori sosiologi Islami Ibn Khaldun, Agama
memikiliki peran sosial yang sangat penting dan positif. Ia dapat meredakan
pertikaian yang disebabkan oleh iri hati kepada golongan lain. Agama dapat
melenyapkan sifat kasar, sombong, dan melatih untuk menguasai hati. Apabila
individu-individu religius itu berkumpul menjadi satu akan membentuk kesatuan
sosial dan memperoleh kemenangan dan kedaulatan.
Kata Sayyib
Qutb, Masyarakat Islami tidak terbentuk tanpa pembelajaran ilmu akidah yang
benar. Akidah dalam masyarakat Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur
aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya (Nahwa
Mujtama’ al-Islamiy, hal. 139).
Oleh sebab
itu, momen Ramadlan merupakan waktu yang tidak salah dalam rangka upaya
membangun masyarakat yang beradab. Sebab, bulan ini layaknya madrasah yang
dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasan
bulan suci dengan semarak ibadah dan mengaji sangat mendukung. Masyarakat
muslim lebih taat ibadah pada bulan ini. Dan kemaksiatan relative berkurang.
Suasana yang
demikian sesunggunya suasana yang dicita-citak peradaban Islam.
Selain itu tradisi Ramadlan di beberapa pesantren yang diisi dengan mengkhatamkan kitab-kitab turats adalah tradisi pembangkit peradaban yang perlu dipelihara. Makanya sesunggunya tepat bila dikatakan Ramadlan adalah bulan ilmu dan bulan peradaban Islam.*
Selain itu tradisi Ramadlan di beberapa pesantren yang diisi dengan mengkhatamkan kitab-kitab turats adalah tradisi pembangkit peradaban yang perlu dipelihara. Makanya sesunggunya tepat bila dikatakan Ramadlan adalah bulan ilmu dan bulan peradaban Islam.*
MENAKAR POLITIK KEBUDAYAAN
Dewasa ini
struktur pemaknaan yang dominan di semua segi kehidupan adalah
ekonomi. Maka, kampanye capres fokusnya ekonomi dan mengabaikan politik
kebudayaan. Padahal, politik kebudayaan bisa melemahkan aspek eksploitatif
hubungan produksi dan menolong
menghadapi secara kritis determinisme ekonomi. Masalahnya, persaingan sebagai pendorong efisiensi (logika ekonomi) mengabaikan logika
sosial yang peduli keadilan dan
solidaritas. Dua hal ini adalah faktor perekat rasa kebangsaan, lahan budaya perkembangan etos.
Rasa kebangsaan
tumbuh berkat solidaritas, tetapi institusi-institusi sosial ternyata didikte kapitalisme baru yang mendorong ke individualisme. Kapital tak
sabar mengubah semua institusi agar
bisa menarik pemodal (R Sennett, 2006). Perbaikan performance ekonomi menuntut selalu ada inovasi. Tuntutan ini menciptakan struktur
kesibukan yang rentan konflik. Lalu,
masyarakat hanya kenal satu pola hubungan, yaitu persaingan. Akibatnya, stres tinggi, gelisah, kolega dianggap pesaing. Maka, solidaritas
masyarakat melemah. Alasan politik
kebudayaan Dalam persaingan itu, peran negara sebagai penengah hampir tak
berfungsi karena tiadanya
politik kebudayaan. Warga negara diperlakukan seperti konsumen. Padahal, konsumen cenderung individualis karena konsumerisme melemahkan
solidaritas. Konsumen tidak terorganisasi sehingga tidak mampu membangkitkan
perlawanan
struktural terhadap komersialisasi gaya hidup. Konsumsi
menggantikan norma sosial dalam perannya
sebagai mesin integrasi dan regularisasi masyarakat (J Baudrillard, 1970). Struktur sosialisasi kehilangan kewenangan. Melemahnya struktur sosialisasi ini diperparah sifat narsisis
masyarakat konsumeris.
Hanya peduli
pada kebahagiaan sendiri membuat kesejahteraan bersama diabaikan.
Narsisisme butuh perantara, yaitu model. Model selebritas
diciptakan media massa.
Maka, program televisi seperti American Idol dan infotainment
mencatat rating tinggi.
Budaya sebagai upaya meningkatkan kualitas habitat hidup bersama
tidak mendapat
tempat. Maka, berat kendala yang harus dihadapi untuk mengembangkan
kebudayaan
dalam arti ”aspek normatif, kaidah etika, pembinaan nilai, dan
perwujudan cita-cita serta
mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, etos suatu
masyarakat” (JWM Bakker,
1984).
Sedangkan
kebijakan publik yang menekankan ekonomi rentan konflik karena memihak yang kuat. Saat hubungan kekuatan menentukan arena sosial,
pembelajaran untuk
menerima perbedaan tak dipedulikan lagi. Lalu, aneka institusi
sosial cenderung menghasilkan
diskriminasi. Maka, penting memiliki visi kebudayaan. Ada empat alasan mengembangkan politik kebudayaan (L Bonet, 2007).
Pertama, nilai strategis budaya sebagai penyebar standar simbolis dan komunikatif.
Kedua, perlunya menempa
identitas kolektif. Ketiga, politik kebudayaan berdampak positif pada ekonomi dan sosial karena mengembangkan kreativitas. Keempat, perlu
memelihara kekayaan kolektif
(budaya, sejarah, tradisi, dan seni). Keempatnya mengandaikan penerimaan keragaman masyarakat. Pelembag an diskriminasi Arah politik multikultural ialah ”pengakuan keberagaman budaya yang
menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat
terintegrasi, dan masyarakat
mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui” (W Kymlicka, 2000).
Rumusan ini
mengandung tiga unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan
mengafirmasi dalam perbedaan.
Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas. Politik multikultural
mau memastikan jaminan itu terwujud dalam kebijakan publik dan sistem hukum
sehingga cita-cita etika politik
terwujud ”semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusiinstitusi yang adil”.
Institusi adil
bila inklusif. Maka, undang-undang/peraturan tidak boleh diskriminatif.
Legislasi bisa menjadi alat pelembagaan diskriminasi dalam hubungan
sosial, pekerjaan, dan jabatan.
Diskriminasi hukum terjadi bila negara terlalu melegalisasi pelarangan norma moral. Masyarakat berhak mencegah anggotanya merugikan pihak
lain. Namun, orang bisa mempertanyakan bila pencegahan diartikan menerapkan
keseragaman dengan ukuran moral
kolektif. UU/peraturan yang diskriminatif memperparah segregasi sosial. Dinamika otonomi daerah membuka peluang pemerintah pusat menemukan
perannya melalui politik kebudayaan, yaitu menegaskan arah dan cita-cita
bangsa. Membangun budaya inklusif Bangsa
mengandaikan, pertama, acuan ke budaya inklusif termasuk sistem gagasan, etos, cara bertindak, dan komunikasi; kedua, bangsa akan kuat bila
anggota-anggotanya saling mengakui hak
dan kewajiban masing-masing karena status sama (E Gellner, 1983).
Kedua syarat
ini memungkinkan terciptanya bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas anggotanya. UU/peraturan yang diskriminatif berarti
tidak mengakui kesamaan hak dan kewajiban warga negara. Empat sasaran politik multikultural: pertama, membentuk habitus toleransi,
keterbukaan, dan solidaritas. Pertaruhannya bukan hanya mengelola warisan
budaya, seni, dan bahasa, tetapi juga
masalah konservasi, pendidikan, dan kreasi.
Kedua,
membangun artikulasi politik dan multikulturalisme guna menciptakan ruang
publik agar beragam komunitas berinteraksi untuk memperkaya budaya
dan memfasilitasi konsensus. Dampaknya, frekuensi perjumpaan berbagai
kelompok berbeda tinggi dan kategori masyarakat yang ambil bagian dalam
keputusan kolektif diperluas. Ketiga, untuk mengimbangi kebijakan ekonomi
yang teknokratis, multikulturalisme mengusulkan
sistem baru representasi dan partisipasi. Sistem ini memerhatikan aspirasi budaya, pada gilirannya mengembangkan kapital sosial. Kapital
sosial berakar pada jejaring
asosiasi dan civisme, yang merupakan tanah subur bagi kesadaran akan makna tanggung jawab kolektif (J Subirats, 2008:61). Kapital sosial,
faktor kohesi sosial berkat hubungan
kepercayaan, membuat politik lebih peduli solidaritas dan kesejahteraan bersama. Keempat,
penataan ruang publik menyangkut tiga aspek, yaitu fisik-sosial, budaya, dan politik. Dari fisik-sosial, perlu dikembangkan bentuk baru
permukiman, tata kota, atau perencanaan
teritorial agar menghindari segregasi sosial atas dasar etnik atau agama (T Bennett, 2008:23). Dari budaya, pemerintah harus menjamin dimensi
multikultural dalam ekspresi di
ruang publik, seperti seni, teater, musik, film, sastra, dan olahraga. Maka, pemerintah wajib mendorong pengelola media massa agar peduli
pada dimensi multikultural dengan insentif subsidi atau keringanan pajak. Dari
politik, kebijakan publik perlu
memasukkan program representasi minoritas dalam politik, pendidikan, dan lapangan kerja.
Manifesto
gerakan Intelektual Profetik IMM dapat dijabarkan dengan beberapa indikator Gerakan
Transformasif Profetik, gerakan transformasi profetik tersebut berdasarkan tiga
pilar dalam etika profetik nyatu; humanisasi, liberasi dan
trasendensi, dapat diterjemahkan kedalam indikator yang meliputi Indikator
Cendikiawan atau Intelektual Profetis, Metodologi Transfomasi Profetis,
Indikator Transformasi Profetis, dan Aksi Transformasif Profetis.
A.
Indikator
Intelektual Profetis
Keinginan
seseorang untuk menjadi seorang cendekiawan adalah merupakan keputusan yang
sulit. Bukan keterpelajaran dan kecerdasan saja layaknya seorang sarjana atau
profesor yang dibutuhkan. Sebut sajalah gologan yang cerdik dan pandai yang
menerbangkan pada permadani menara gading tempat huniannya, tetapi cendekiawan
tentunya mementa lebih dari itu. Seperti halnya nabi Muhammad, betapa
cendekiawanya telah membawa konflik lahir dan batin dalam dirinya manakala ia
dihadapkan dengan pertanyaan dan persoalan kaumnya. Seyogyanya seorang
cendekiawan kerap merasakan konflik dan gelisah, gusar, serta serah tatkala ada
diskrepansi apa yang ia rasakan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat.
Cendekiawan merupakan salah satu unsur yang dapat melakukan transformasi
sosial, bila mana sadar diri dan sadar sosial ditengah-tengah masa yang talah
tidur bahkan sedang amnestia. Mereka memiliki kepedualan untuk
membangkitkan kesadaran masyarakatnya dan menjadi motor penggerak bagi perubahan
sosial menuju ke arah yang lebih baik. Bagi Kuntowijoyo cendekiwan berani
pilihan dan jalan cara dalam melakukan transformasi sosial, memiliki sifat
independen dan hurus berani, tidak berpangkat dan tak berhata. Bahkan sifat
kecendekiawan Kunto dapat terlihat dalam salah satu puisinya dari judul bukunya
Daun Makrifat, Makrifat Daun, ia menuliskan; sebagai hadiah, malaikat
menanyakan, apakah aku ingin berjalan diatas mega, dan aku menolak, karena
kakiku masih di bumi, sampai kejahatan terkhir dimusnahkan, sampai dhu’afa dan
mustadh’afin, diangkat Tuhan dari penderitaan.
Indikator
intelektual terbagi menjadi dua macam pada individu kader dan ikatan atau
kolektif kader yang berada dalam ikatan;
1.
Individu Kader
Kategori
individu menunjukan masing-masing individu dalam ikatan memiliki kemampuan
cendekiawan sebagai salah satu manifestasi dari kesedaran profetik dalam
transformasi profetik. Karakter cendekiawan meliputi beberapa klasifikasi.
a.
Sadar dengan dirinya sendiri
Seorang
cendekiawan menyadari potensi yang ada dalam diri sebagai anugrah dari Tuhan
dan berupaya memalukan anugrah tersebut untuk kepentingan kemanusiaan. Potensi
yang berasal dari dalam diri dapat dilihat dari eksistensi manusia yang dari
berbagai macam dimensi. Potensi yang berasal dalam diri tersebut dikembangankan
menjadi sebuah eksistensi yang berada dalam diri manusia, menjadi mahluk yang
sadar dengan diri sebagai seorang khalifah, hamba Tuhan dan melakukan tugas
kemanusiaan karena rasa cinta yang Ikhlas untuk Tuhan sebagai hamba-Nya dalam
rangka menebar sifat-sifat Tuhan di muka bumi. Seorang cendekiawan dengan
sadar diri melakukan pilihan apa yang dilakukan untuk tugas kemanusiaan dalam
rangka menggantikan Tuhan di muka bumi. Proyek-proyek yang dilkukan oleh
cendekiawan adalah yang berkaitan untuk kepentingan kemanusiaan dan memberikan
kebermanfaatan bagi alam, sesama dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Senada
yang telah diutarakan oleh Kunto bahwa cendekiawan independen, berani tidak
berpangkat dan berharta dalam rangka melakukan transformasi profetik.
Cendekiawan dilahirkan dari sikap, kesadaran diri dan mengerti diri potensi
yang dimiliki baik secara anugrah dan disiplin keilmuan yang dimilikinya.
Cendekiawan yang dimaksudkan merupakan manusia yang berupaya tidak bergulat
dalam dataran keilmuannya atau hanya tinggal dipermadani kaumnya tanpa melihat
realitas sosial dan melakukan tranformasi.
b.
Sadar terhadap realitas sosial
Kesadaran dalam
realitas seorang kader ikatan menyadari bahwa realitas bersifat terbuka, dan
bisa diubah bukan tertutup (given). Dunia atau realitas merupakan lahir dari
kesadaran manusia, kreasi manusia dan dapat diubah oleh manusia.
Kesadaran manusia disini dapat merubah, rekayasa terhadap realitas dalam rangka
untuk kemanusiaan dan kebermanfaatan bagi alam semesta. Realitas merupakan
bentukan manusia seperti dalam bukunya Peter L. Berger, Tafsir Sosial Atas
Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pegetahuan, realitas merupakan
dialektika internalisasi, eksternalisasi dan objektivasi yang terus menerus tak
berkesudahan. Realitas yang merupakan bentukan manusia melalui internalisasi
dan manusia bentukan realitas melalui internalisasi dan cara merubah realitas
tersebut dengan cara mengekternalisasi realitas. Perubahan atau rekayasa
terhadap realitas sepenuhnya dilakukan oleh manusia lewat potensi yang
dimilikinya.
c.
Peka terhadap realitas sosial
Kaderikatan
memiliki kepekaan terhadap realitas sosial dan dapat membaca serta menguraikan
struktur serta kelompok yang berkepentingan dalam realitas. Individu kader
memiliki kemampuan untuk memilihat kontradiksi dalam segala hal baik agama,
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan dapat mengkaitakan relasi
masing-masing kelompok sosial. Karakter peka yang dimiliki kader dapat mengurai
adanya berbagai kontradiksi, relasi pelaku dan tarik menarik kepentingan dari
suatu fenomena. Seorang kader dapat membaca dan menganalisa hal yang terjadi
dalam lingkunganya dan sekitar tempat kader berkembang dalam memahami realitas
sosial.
d.
Peduli terhadap realitas sosial
Karakter peduli
yang berada dalam ikatan merupakan tindak lanjut dari sadar diri, sadar dengan
realitas dan peka maka seorang kader memiliki kepedulian, memiliki rasa
tanggungjawab sebagai bagain dari realitas. Kepedulian merupakan hasrat,
ketetapan hati, dan komitmen serta konsisten bahwa realitas harus di ubah dan
wajib untuk diubah demi kondisi yang lebih baik. Sikap peduli merupakan ruh
bahwa ia harus berbuat dalam aksi merubah realitas sosial. Peduli disini baru
sikap empati dan merasa bertanggungjawab terhadap realitas sosial yang terjadi
kenapa begini, mengapa begitu, serta apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi
dan merubah realitas tersebut sehingga menuju yang lebih baik untuk kemanusiaan
dan alam.
e.
Aksi nyata sebagai respon terhadap realitas
sosial
Aksi merupakan
suatu tindakan nyata dalam melakukan transfomasi dalam rangkai keasadaran
intelektual yang memiliki tradisi profetik seperiti yang diakukan olen para
nabi untuk membebaskan umatnya. Karakter aksi merupakan simpul yang penting dan
tidak boleh lepas karena itu yang ditunggu dalam memakukan transformasi. Aksi
merupaka keterlibatan sepenuhnya dan sebenarnya dalam proses transformasi pada
kondisi yang lebih baik. Pada karakter aksi tersebut kader memiliki
keberpihaklan yang jelas siap yang akan dibela oleh ikatan dalam ralasi
kelompok yang berkepentingan. Pemilihan pemihakan merupakan pilihan yang sulit
harus dilakukan oleh ikatan dan melakukan kajian siapa pihak yang dirugikan
tertindas dalam suatu relasi dari realitas sosial. Keberpihakan merupakan pintu
gerbang yang utama dari pintu masuk untuk melakukan aksi nyata dalam melakukan
transformasi sosial.
f.
Evaluasi
Sebagaimana
perkataan bijak dari seorang filosof Socrates “hidup yang tak direfleksikan
tak pantas untuk dijalani”. Begitupula dengan kader ikatan melakukan evaluasi
pada diri apa yang talah dilakukan bagaimanakah respon setelah aksi tersebut
dilakukan. Cara evaluasi yang dilakukan oleh kader dengan melihat tingkat
perubahan pada subjek dalam transformasi dengan cara melakukan, proses
melakukan dan hasil dari tindakan tersebut. Evaluasi yang dilakukan oleh kader
sesuai dengan apa transformasi yang dilakukan dalam menuju kearah yang lebih
baik. Evaluasi yang dilakukan dengan cara pada individu kader dan subjek dalam
transformasi atau evaluasi bersama dan penuh sifat keterbukaan.
2.
Ikatan/organisasi dalam bentuk kolektif.
Sebagai sebuah
organisasi sebagai yang menisbatkan diri sebagai gerakan intelektual profetik
dalam ikatan harus dilaksanakan dalam segala level organisasi dengan
berkesadaran profetik. Kebijakan yang diambil oleh organisasi berdasarkan
nilai-nilai yang berazaskan intelektual profetik. Kesadaran intelektual
profetik bergerak dalam semua lini kehidupan dan menjadi pilihan sadar ikatan
dalam melakukan transformasi sosial untuk menuju yang lebih baik. Kesadaran
intelektual profetik menjadi paradigma gerakan yang menjadi kesadaran kolektif
dalam ikatan, yang memiliki klasifikasinya sebagai berikut;
a.
Sadar
dengan diri ikatan
Sadar dengan
diri ikatan merupakan unsur yang penting sebelum melakukan transformasi sosial
yang akan dilakukan. Kesadaran dalam ikatan merupakan penilaian ikatan dalam
berbagai sisi dan potensi atau kekuatan ikatan dalam melakukan transformasi
sosial yang akan dilakukan. Potensi yang berada dalam ikatan merupakan. Potensi
dalam ikatan tersebut merupakan esensi ikatan yang harus dieksistensikan
kedalam dan keluar ikatan agar dapat memberikan makna bagi kader yang
bersangkutan dan masyarakat pada umumnya. Pengeksistensianya ikatan dalam ranah
puplik menjadikan ikatan memiliki makna dan bernilai bagi pergerakan yang lain.
Eksistensi ikatan yang dalam ranah puplik didasari oleh tiga pilar profetik
yang menjadi paradigma ikatan dalam melihat dan melakukan transformasi sosial
yang dilakukan menuju khoirul ummat.
b.
Sadar terhadap realitas sosial
Karakter sadar
terhadap realitas sosial yang dalam ikatan hampir sama dengan yang berada dalam
idividu kader. Karakter sadar dalam individu kader diperluas menjadi kesadaran
kolektif dalam ikatan menjadi suatu organisasi yang penting dan bagian dari
realitas sosial. Dalam artian kesadaran tersebut menjadikan ikatan harus
bertanggung jawab terhadap kondisi realitas sosial sehingga menciptan yang
lebih baik.
c.
Peka terhadap realitas sosial
Peka dalam
keoraginasasian merupakan hampir sam dengan yang berada dalam individu ikatan
dan perluasnya terdapat pada relasi antar kelompok sosial dan tarik-menarik
kelompok yang berkepentingan didalamnya. Ikatan dapat menempatkan diri sebagai
bagian dari kelompok sosial yang berkepentingan dan merupakan konfigurasi dari
realitas sosial. Kepentingan dari ikatan disini menjadi modal yang dan arah
tujuan yang jelas dari perjuangan atau pilihan yang dilakukan dalam menempuh
perjuangan dalam melakukan transformasi sosial. Ikatan memiliki latar belakang
sebagai seorang mahasiswa dan merupakan bagian dari ortom Muhammadiyah
merupakan kelompok yang berkepentingan sesuai dengan tujuan terbentuknya
ikatan. Pilihan yang dilakukan ikatan merupakan kader penerus dan penyempurna
amal usaha Muhammadiyah, yang merupakan bagian dari realitas sosial yang
bergerak pilihan dalam ranah intektual. Maka yang menjadi pilihan gerakan ilmu
yang dilakukan oleh ikatan agar masuk dalam segala lini berdasarkan keilmuan
yang dimiliki oleh masing-masing kader.
d.
Peduli dan responsif terhadap realitas sosial
Karakter peduli
tersebut disertai dengan responsif terhadp realitas sosial. Perluasan
penambahan responsif ini merupakan langkah awal dari ikatan. Perluasan ini juga
merupakan ikatan merupakan suatu bagaian dari kelmpok sosial dalam masyarakat.
Responsif tersebut diperluka dikarenakan ikatan komunitas dalam masyarakat,
responsif ikatan merupakan kemampuan ikatan untuk menanggapi dan mengartikulasi
kepentingan kelompok yang diwakilinya dan bagaimana dengan ikatan.
e.
Aksi/tindakan nyata
Pada karakter
bagian ini merupakan sudah jelas, ikatan tidak hanya terlibat dalam melakukan
transformasi tetapi menjadi pelaku utama dalam transformasi yang dilakukan.
Aksi yang dilakukan oleh ikatan merupakan tindakan real yang dilakukan agar
terbentuk masyarakat yang dicita-citakan oleh ikatan. Aksi tersebut merupakn
tindakan nyata sebagai mana dalam perkataan bijak Karl Marx, “tugas filosof
bukan untuk menginterpratasi dunia tetapi untuk merubah dunia”. Begitupula
dengan ikatan bukan hanya untuk menafsirkan tentang dunia tetapi bagaimana cara
merubahnya.
f.
Kesadaran perlunya kolektivitas
Kesadaran dan
aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi menjadi kesadaran
kolektif dalam ikatan dan melibatkan semua komponen dalam suatau komunitas
sosial dan dalam diri ikatan segenap level pimpinan. Pada karakter tersebut
menjadikan bahwa ikatan bukan satunya organ yang melakukan perubahan sosial,
tetepi disini ikatan dapat melakukan kerjasama dengan pergerakan yang lain atau
kelompok yang sama dengan apa yang dicita-citakan oleh ikatan. Kerjasama yang
dilakukan oleh ikatan merupakan aksi yang dilakukan bersama guna tercapainya
tujuan yang diidam-idamkan bersama.
g.
Visioner dan pelopor
Karakter ini menjadikan
ikatan menjadi pelopor dan visioner dalam pembacaan, analisa terhadap realitas
sosial, dan melakukan transformasi sosial. Ikatan disini memiliki mimpi atau
cita-cita dalam realitas sosial yang akan datang. Sifat tersebut menjadikan
dasar analisa terhadap realitas sosial yang sekarang dan bagaimana mewujudkan
mimpi tersebut. Pemahaman tersebut diaharapkan memberikan pemilihan gerakan,
aksi dan pemilihan program yang dilakukan oleh ikatan dan diutamakan dalam
ikatan guna tercapai cita-citanya.
B.
Metodologi (Proses) Transfomasi Profetis
Metodologi
merupakan bagaian yang penting, hal tersebut dikarenakan dengan metodologi
menjadikan ikatan berfikir dan bertindak dalam mewujudkan cita-cta yang
diinginkan dapat di pantau perkembangannya. Dengan pemantauan tersebut iktan
dapat melakukan evaluasi terhadap program yang telah dilaksanakan. Dalam
metodologi profetis yang beradasarkan tiga pilar tersebut paling tidak terdapat
tiga ciri utama; refleksi dengan belajar dari pengalaman, dialogis dan pengkontektualisasian
doktrin agama, serta arahannya.
1.
Refleksi dengan belajar dari pengalaman.
Refleksi
merupakan unsur yang penting dari suatu realitas, dengan refleksi tersebut
menjadikan pembelajaran terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.
Pembelajaran dari pengalaman menjadikan yang nyata bukanlah para teoritikus
melainkan keadaan nyata dalam masyarakat dan pengalaman seseorang atau kelompok
yang terlibat langsung dalam masyarakat. Pembelajaran dari pengalaman
menjadikan pengetahuan tidaklah menjadi dewa dan memiliki otoritas yang tinggi,
tetapi keabsahan dari pengetahuan dilihat dari pembuktiannya dalam realitas
menjadi pengalaman langsung bukannya dalam dataran teoiritis atapun retorika
belaka.
2.
Dialogis
Pemahaman
dialogis disini merupakan unsur penting dalam perubahan yang dilakukan guna
mewujudkan cita-cita ikatan. Proses transformasi yang dilakukan ikatan sebagai
fasilitator dan tidak ada guru dan murid. Pembelajaran dan pemahaman terhadap
realitas silakukan bersama oleh pemberlaku pemberdayaan dan dalam iklim
dialogis komunikasi tidak ada dominasi. Proses dialogis dengan komunikasi aktif
dan keterbukaan dalam mewujudkan masyarakat komunikastif.
3.
Pengkontekstualisasian doktrin agama serta
arahannya.
Kontekstualisasi
merupakan objektifiaksi terhadap kalam Ilahi agar tidak bersifat subjektif dan
diterima objektif diluar golongan Islam. Dengan objektifikasi menjadikan agama
menjadi ruh dan kalam ilahi menjadi rahmat bagi semesta dan manusia.
Kontekstualisasi menjadikan agama sebagai proses pembebasan terhadap problem
kemanusian yang terjadi. Dengan agama ini menjadikan ruh juga arahan dalam
transformasi sosial yang dilakukan yang dicita-citakan dalam khoirul ummat.
Metodologi
profetis dilakukan melalui proses suatu daur belajar dari pengalaman yang terstruktur
didasari dengan nilai-nilai Ilahiah. Pembelajaran ini tersistematiskan sebagai
berikut; pembacaan realitas, melakukan (refleksi) menjadi realitas I, merangkai
ulang (rekontruksi), analisis, kesimpulan, menerapkan, evaluasi. Gambaran dalam
metodologi profetis sebagai berikut;
a.
Pembacaan terhadap realitas
Pembacaan
merupakan proses awal dalam metodologi kritis, hal tersebut dikarenakan ikatan
harus mengenali subjek yang akan dijadikan sebagai lahan dalam melakukan
transformasi sosial. Pembacaan ikatan dapat mengenali kekuatan subjek dalam
transformasi, bentuk transformasi yang akan dilakukan dan pemilihan gerakan
dalam melakukan transformasi yang lebih baik.
b.
Melakukan (refleksi) menjadi realitas
Selanjutnya
setelah pembacaan terhadap realitas adalah melakukan dengan cara merefleksikan
pengalaman ataui perristiwa-peristiwa nyata dari subjek. Melakukan merupakan
langkah awal karena penggalian pengalaman subjek yang akan dijak melakukan
perubahan yang lebih baik.
c.
Merangkai ulang
Merangkai ulang
merupakan pengungkapan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian
(prosesnya) dari realitas/pengelaman/peristiwa. Setelah pengungkapan kembali
dari realitas tersebut maka memberikan tanggapan, kesan terhadap peristiwa
tersebut. Tanggapan dan pengungkapan fakata dalam realitas merupakan langkah
awal sebelum melakukan analisa karena merupakan data awal terhadap realitas
yang real.
d.
Analisis
Tahapan
selanjutnya analisis merupakan kita menguraikan fakata dan data yang diperoleh
dari rangkaian ulang peristowa yang telah terjadi. Analisis merupakan
uraian dan pengkajian terhadap sebab-sebab, dan kemajemukan dari suaru
permasalahan yang ada dalam realitas. Analisis yang dilakukan meliputi tatanan,
aturan, sistem, yang menjado akar persolan.
e.
Menyimpulkan
Menyimpulkan
merupakan tahapan selanjutnya dari analisis, menyimpulkan merupakan merumuskan
makna atau hakekat dari realitas sebagai suatau pembelajaran dan pemahaman
pengertian baru yang lebih utuh. Kesimpulan tersebut berupa prinsip-prinsip
berbentuk kesimpulan umum (generalisasi) hasil dari pengkajian atas pengalaman.
Kesimpulan merupakan langkah pengkajian terhadap realitas dan mengambil
penyebab dari persoalan yang terjadi dalam masyarakat dan bagaimana cara
melakukan transformasi sehingga terciptanya tatanan yang lebih baik.
f.
Menerapkan
g.
Setelah melakukan analisis maka tahapan
selanjutnya menerapkan, menerapkan yakni memutuskan untuk melakukan tindakan
baru dalam merubah realitas sosial. Menerapkan merupakan langkah bagaimana
melakukan transformasi dan bentuk transformasi yang dilakukan oleh ikatan.
Tahapan melakukan ini memilki rencana, tujuan, target sehingga dapat dilihat
proses dan hasilnya. Proses melakukan tersebut pada gilirannya akan menjadi
pengalaman yang harus dipelajari dan merupakan bagain awal dari metodologi
kristis.
h.
Evaluasi
i.
Evaluasi
merupakan
bagian yang penting dikarenakan semua program dalam melakuklan transformasi
sosial dapat dioraskan oleh subjek tersebut dan fasilitataornya. Evaluasi yang
dilakukan dengan cara sistematika metodologinya, evaluasi yang dilakukan
menjadikan dalam metodologi tersebut bersiofat lingkaran singuler dan tahapan
selanjutnya menjadi realitas II dan selanjutnya tanpa berkesudahan.
C.
Indikator Transformasi Profetis
Indikator
profetis merupakan suatu proses perubahan yang berakarter kenabian yang
diilakukan secara menyeluruh (sistemik) dengan melibatkan seluruh komponen
(partisipatoris) dan peubahan tidak hanya dalam bentuk materi melainakan yang
terutama adalah kesadaran dan kerangka berfikir terhadap realitas. Perubahan
tersebut dilakukan buklan hanya dalam dataran sendiri atau individu kader
tetapi dilakukan oleh seluruh elemen dari realitas sosial tersebut. Ikatan
beertugas sebagai fasilitator dalam melakukan transformasi yang akan dilakukan.
Berikut ini merupakan indikator profetis dalam melakukan transformasi sosial
yang dilakukan;
1.
Perubahan sistematis
Perubahan yang
sistematis merupakan tujuan dari transformasi yang dilakukan oleh ikatan dengan
bentuk transformasi menyentuh seluruh komponen dari suatu realitas
sosial. Bentuk transformasi sosial yang dilakukan buka bersifat parsial
tetapi memiliki genelogi yang jelas dan arah tujuan yang jelas pula. Perubahan
yang sistematis dengan bentuk transformasi sosial yang dilakukan seperti
revolusi yang pernah terjadi pada masa nabi yakni perubahan secara radikal dan
menyeluruh.
2.
Partisipatoris
Transformasi
yang dilakukan oleh ikatan besifat partisipatoris fungsi ikatan hanya sebagai
fasilitator dalam perubahan biarlah subjek digerakkan berdasarkan kesadaran
mereka terhadap diri dalam memahami realitas dan masyarakat menentukan arah
transformasi menuju yang lebih baik. Partisipatoris perubahan yang dilakukan
melibatkan sebenar-benarnya seluruh elemen masyarakat. Transformasi yang
dilakukan bukan hanya pada kelompok yang dominan atau rezim penguasa dimana
kelompok moniritas hanya boleh mengikuti saja. Perubahan tidak dilakukan oleh
organ luar selayaknya dewa maha tahu terhadap realitas suatu
komunitas. Bentuk transformasi merupakan milik seluruh elemen yang bersangkutan,
hal ini dikarenakan transformasi menjadi milik semua elemen dan masayarakat
sendiri yang menentukan cara dalam melaksanakan transformasi yang dilakukan.
3.
Perubahan spiritual dan material
Perubahan dalam
bentuk spiritual dan material dalam artian dalam melakukan transformasi sosial
meliputi dua dimensi transformasi kesadaran yang berifat spiritual denga
melakukan rekontruksi terhadap pemahaman agama yang tak bersifat liberatif dan
agama sebagai sarana pemecahan terhadap persolan kemodernan seperti persolan
gender, problem humanisasi, kerusakan alam dan yang lain. Beangkat dari
perubahan dalam bentuk kesadaran, menjadikan semangat serta arahan dalam
transformasi dalam bentuk material. Sebagaimana yang telah dikatan oleh Kunto, kesadaran
super struktur menentukan kesadaran struktur. Kesadaran tersebut merupakan
kesadaran yang berada dalam ajaran agama Islam.
4.
Alur metodologi profetis
Proses
transformasi profetis mendasarkan diri pada metodologi profetis. Transformasi
profetis tidak dapat dilepaskan dari kesadaran intelektual profetis dan
metodologi profetis. Transformasi profetis yang dilakukan oleh ikatan
merupakan jalan untuk mencapai tujuan dan cita-cita ikatan guna mewujudkan khoirul
umat.
D.
Aksi Transformasi Profetis
Transformasi
profetis yang dimaksudkan transformasi yang dilakukan oleh ikatan berdasarkan
nilai-nilai Ilahiah sebagai bentuk yang transformasi yang dilakukan oleh organ
atau gerakan yang lain. Bahasa yang digunakan oleh cendekiawan profetik dalam
melakukan transformasi sosial adalah menggunakan bahasa kaumnya, dan
menghunungkan agama dengan kencendrungannya untuk melakukan perubahan sosial
menuju yang lebih baik. Transformasi profetis merupakan tindak lanjut dari sikap
intelektual profetik dengan melakukan perubahan sosial yang berkarakter
profetis, yang dapat disebut dengan transformasi profetis. Transformasi
profetis tidak dapat dilepaskan dengan cendekiawan profetis, layaknya seorang
dikatakan intelektual profetis dalam tindakannya atau prilakunya harus
dilakukan dengan transformasi profetis. Sebaliknya transformasi profetis tidak
dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman seorang cendekiwan profetis dalam
melihat realitas sosial. Prilaku profetis mereflesikan bentuk pra aksi dan
transformasi profetis menggambarkan bentuk real aksi yang dilakukan.
Dalam aksi
transfomasi profetis terdapat proses ataupun metodologi yang dilalui , dan
berikut ini merupakan rincian dalam trasformasi profetis;
1.
Prioritas (pilihan) isu/program/kasus
Setelah
mel;akukan pembacaan terhadap realitas dan melkukan analisis kritas maka
merumuskan hasil bacaan tersebut. Dengan melakukan pembacaan terhadap realitas
belum tetu analisis terhadap realitas selesai, analisis tetap dilakukan dan sekarang
merupakan tindakan konkret atau aksinyata dalam melakukan transformasi
profetis. Tetapi, sebelum melaksanakan aksi profetis ikatan perlu melakan
pilihan isu atau program yang dilakukan dalam melakukan transformasi profetis.
Pemilihan isu tersebut, merupakan hal yang penting dikarenakan isu tersebut
hars dapat dirasakan oleh semua kader yang bersangkutan di semua level pimpinan
dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang membutuhkan transformasi tersebut.
2.
Pemililihan pemihakan
Setelah
melakukan kajian dan menentukan pilihan isu yang dijadikan suatu persolan
sosial maka yang selanjutnya menentukan pilihan pemihakan. Analisis klritis
yang dilakukan oleh intektual profetis didapatkan skema pelaku-pelaku
(stakeholder) yang terdapat posisi relasi dalam suatu kasus yang terdapat dalam
realitas sosial. Pada tahapan ini ikatan menetukan pemilihan pemihakan terhdap
kasus tau problem yang terjadi dalam realitas sosial, sebagai pelaku dalam
transformasi profetis. Pemilihan pemihakan yang dilakukan oleh ikatan dilakukan
secara sadar dan tanggungjawan dengan pemihakan terhadap yang termarginalkan,
dirugikan atau tertindas.
3.
Membentuk kelompok inti
Sarana untuk
memalukan perubahan ssosial menurut Jalaluddin Rahamat adalah membentuk creative
minority. Begitupula, dengan ikatan harus ada segolongan atau kelompok yang
peduli terhadap ikatan yang meberikan sumbangsihnya dengan bercurah gagasan dan
ide dalam melakukan transformasi profetik. Creative minority merupaka
kelompok yang memiliki peranan, penggagas, pengerak, pemrakarsa, pengendali
utama dalam melakukan transformasi profetis, sekaligus pemenggang kebijakan,
tema atau isu strategi dan sasaran dari sutau aksi transformasi profetis yang
dilakukan oleh ikatan. Kelompok minoritas tersebut tidak hanya dalam dataran
idea melakukan konsep tetapi ia sebagai pemengang dan penngendali konsep dalam
tindakan nyata dalam melakukan transformasi profetis yang dilakukan oleh
ikatan.
4.
Merancang sasaran dan strategi
Merancang
sasaran dan strategi dalam melakukan transformasi sangat penting dikarenakan
agar sasaran dan stragetgi dalam meakukan transforasi dapat terlihat dan
dilakukan analisis dan yang terpenting adalah terpantau. Merncang dan
menentukan strategi sudah termasuk dalam dataran teoritis sekaligus praktis,
dikarenakan kita merancang praktis dalam melakukan transforamsi profetis.
Rancangan tersebut dapat mengikuti tolak ukur SMART, yang meliputi sebagai
berikut;
a. Spesifik
(khusus)
Dalam
menentukan rumusan dan sasaran kelompok bersifat spesifik, konreat, jelas,
fokus dan tidak terlalu umum. Sifat ini menjadikan jelas siapa dan kenapa
memilih kelompok untuk menjadikan subjek dalam transformasi.
b. Measurable
(terukur)
Dalam proses
melakukan transformasi dapat dilakukan evaluasi dan memperbaikinya. Jadi hasil
dan proses dalam transformasi cukup terukur (memiliki indikataor yang jelas
bisa dipantaui dan diketahui)
c. Achievable
(dapat diraih)
Apa yang
dilakukan merupakan suatu uotopia, tetapi transformasi yang dilakukan oleh
ikatan bukan hanya bersifat angan-angan, hal tersebut dilakukan karena memiliki
tujuan serta indikator yang jelas. Begitupula, transformasi yang dilakukan
merupakan sesuatu yang dapat diraih, diwujudkan dan bukan hanya sekedar
angan-angan kosong.
d. Realistik
(sesuai kenyataan)
Ikatan dalam
melakukan transformasi dalam bentuk yang realistik dengan situasi, keadaan
ikatan serta kelompok yang dijadikan subjek dalam transformasi. Ikatan atau
kelompok yang dijadikan subjek transformasi mampu melakukan, melaksanakan, dan
dapat mencapainya (memiliki sumber daya, kemampuan dan akses).
e. Time-bond
(batas waktu)
apa yang
dilakukan oleh ikatan seperti dalam transformasi memiliki batas waktu yang
jelas (kapan dan berapa lama) kelompok ataupun ikatan yang melakukan
transfomasi.
5. Menggalang
skutu dan pendukung
Pelaksanaan
transfomasi yang dilakukan dengan hasil penganalisaan maka terbagi kelompok
yang mendukung dan yang tidak. Oleh karena itu ikatan mencari kelompok yang
dijadikan sekutu dan pendukung dalam melakukan transformasi yang akan
dilakukan. Dalam transformasi terdapat lingkaran inti ia sebagai penggerak
untama dalam aksi transformasi profetis. Aksi transformati profetis terdiri
dari kelompok-kelompk yang mendukung dalam transformasi. Kelompok dalam
transformasi ini terdiri dari; kelompok basis (lingkaran inti), kelompok
pendukung, dan kelompok sekutu (sebagai garis depan).berikut ini merupakan
rincian dari masing-masing kelompok;
1. Kelompok inti
Kelompok ini
sebagai konseptor, pemegang kebijakan dalam aksi yang dilakukan oleh ikatan
sekaligus sebagai pionir dalam transformasi tersebut.
2. Kelompok
pendukung
Kelompok ini
memiliki tugas sebagai menyediakan dukungan dalam bentuk dana, logistik,
informasi, data, sekaligus akses.
3. Kelompok
sekutu-pelaksana aksi
Kelompok ini
memiliki tugas dilapangan dan dalam garis depan dalam melakukan transformasi
yang dilakukan oleh ikatan.
6. Membentuk
pendapat umum
Salah satu
bentuk yang dilakukan oleh ikatan dalam melakukan transformasi memberitahukan
kepada hal layak dalam bentuk kampanye dan propaganda tentau isu atau aksi yang
dilakukan. Harapannya adalah mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat,
kampanye dan propaganda ini dilakukan dalam media masa, atau pelatihan,
demontrasi dan sebagainya semala masih dalam bentuk perlawanan.
7. Pemantauan dan
evaluasi program aksi
Pelaksanaan
yang dilakukan secara terprogram dan terlihat dapat dilkuan evaluasi sehingga
dapat memperbaiki dan melakukan kajian yang lebioh mendalam lagi. Pemantauan
aksi tersebut memerlukan instrumen yang meliputi empat unsur.
1. Sasaran hasil
Sasaran hasil
merupakan suatu keadaan tertentu yang diinginkan dicapai setelah pelaksanaan
kegiatan
2. Indikator
Indikator
adalah beberapa petujuk tertentu yang akan meyakinkan apakah sasaran atau hasil
sudah tercapai atau belum
3. Pengujian
Pengujian
merupakan cara yang digunakan untuk memmperoleh bukti-bukti yang menunjukan
bahwa indikator tersebut mencapai tujuan atau tidak.
4. Asumsi
Asumsi
merupakan suatu keadaan tau hal tertentu yang menjadi prasyarat terlaksananya
kegiatan yang direncanakan sehingga indikator benar-benar terwujud dan sasaran
dapat dicapai.
0 komentar:
Posting Komentar